Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kaderisasi di Tengah Pandemi : Prematur Tapi Butuh Regenerasi

Saturday, November 20, 2021 | 9:05 AM WIB Last Updated 2021-11-20T17:05:46Z
foto M. Ridwan Pasaribu

Dunia mahasiswa merupakan dunia yang penuh dengan gejolak, pergulatan pemikiran sebab mahasiswa senantiasa diidentikkan dengan insan akademis. Pun jika kita menilik sejarah gerakan mahasiswa yang pernah menumbangkan rezim yang otoriter. Hal itu bisa terjadi dikarenakan pola pikir yang berkembang dengan hadirnya ruang-ruang intelektual dalam kehidupan kampus. Memang sudah tidak diragukan lagi terkait peran nyata mahasiswa dalam lingkungan sosial maupun poitik.

Dewasa ini, bisa dikatakan ada degradasi pemikiran mahasiswa yang disebabkan menurunnya kadar semangat berorganisasi di tengah transformasi sosial yang ekstrim yakni pandemi covid-19 yang melanda. Hal tersebut kemudian merubah pola interaksi dan komunikasi kita, sebab lebih banyak bersua di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Adanya pembatasan sosial ini tentunya sangat berdampak pada dunia mahasiswa, terkhusus pada organisasi kemahasiswaan.

Dampak paling dominan sebenarnya dirasakan oleh mahasiswa baru/angkatan korona (2019-2021). Mengapa demikian? Ini disebabkan mereka yang lebih merasakan dampak nyata masa transisi antara perkuliahan luring dan daring. Kurikulum darurat ini membuat mereka mesti mampu beradaptasi dengan cepat. Angkatan 2019 misalnya, yang hanya merasakan kuliah luring satu semester lebih atau angkatan 2020 dan 2021 yang sedari menjadi seorang mahasiswa sudah merasakan kuliah daring. Tentunya, ada perbedaan yang mendasar terkait pola pikir ataupun mental dari mahasiswa, apalagi tidak merasakan bagaimana kehidupan kampus yang ideal.

Kehidupan kampus yang begitu kompleks ini menjadikan mahasiswa di dalamnya begitu beragam, sehingga kadangkala juga mengakibatkan berbagai konflik yang bagi mahasiswa itu sendiri sudah menjadi hal yang lumrah. Masalah membuat kita dewasa, membuat kita menjadi lebih baik lagi, barangkali seperti itu. Terlepas akan hal itu, sistem yang terbangun dalam kehidupan kampus ialah keterikatan senior dan junior yang terbalut dalam pola kaderisasi. Senioritas yang terbangun bergantung pada bagaimana budaya organisasinya.

Bung Hatta pernah bertutur mengenai kaderisasi, bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam. Olehnya kaderisasi diibaratkan juga sebagai jantung bagi organisasi, tanpa adanya kaderisasi rasanya sulit dibayangkan suatu organisasi mampu bergerak maju dan dinamis.

Hal ini karena kaderisasilah yang menciptakan embrio-embrio baru yang akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan organisasi. Kaderisasi semestinya menciptakan seorang yang betul-betul mampu mengemban amanah bukan karena dia yang hanya berada dalam satu cyrcle saja.

Sebuah organisasi yang mapan adalah organisasi yang mampu bergerak ke arah yang positif serta mampu terus ada walau diterpa berbagai gejolak. 

Ini hanya bisa dicapai ketika setiap proses kaderisasi tersebut betul-betul menggembleng karakter kepemimpinan serta membangun pola pikir yang terbuka dan ilmiah. 

Dalam hal ini seorang mahasiswa baru yang menjadi objek kaderisasi, bisa dikatakan seorang bayi yang dididik hingga nantinya mampu mengemban kehendak upaya melanjutkan tongkat estafet organisasi.

Permasalahan yang hadir sebetulnya karena kurikulum darurat atau perkuliahan daring di tengah pandemi ini kemudian berimbas pada pola kaderisasi yang sudah ada. Kebanyakan organisasi masih belum mampu bertindak adaptif-solutif dalam menyikapinya. 

Ketika mahasiswa baru tidak melewati segala proses semestinya, maka akan terjebak menjadi pemikir medioker atau yang hanya ikut-ikutan apa yang dikatakan seniornya tanpa mencerna baik-baik apakah itu baik atau buruk dan benar atau salah dan menjadi kader yang prematur. 

Organisasi harus tetap terus melahirkan kader yang baru sebagai bentuk regenerasinya tapi juga harus mampu melahirkan kader yang berkualitas walau di tengah kondisi pandemi ini. 

Tetapi ketika diperhadapkan pada budaya yang kolot seperti sudah dipaparkan tadi barangkali sudah tidak relevan lagi penerapannya. Perlu ada gerakan pembaruan dalam ranah kaderisasi organisasi. Untuk bergerak maju harus menanggalkan egosentrisme dan senioritas yang kolot tersebut.

Oleh : M. Ridwan Pasaribu
Editor : Eky
×
Berita Terbaru Update