Generasi Z ataupun sering disingkat Gen Z yang lahir dan tumbuh diera digital. Rentang tahun kelahirannya sekitar 1997 hingga 2012 menunjukkan ketergantungan yang signifikan terhadap platform media sosial seperti Snapchat, Instagram, TikTok, dan YouTube. Platform-platform ini menyediakan akses yang mudah dan instan terhadap informasi, seperti hiburan, dan jaringan sosial, sehingga menjadi bagian esensial dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Namun, hubungan yang kompleks ini menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap kesehatan mental generasi Z, dari data artikel WHO (World Health Organization) Addressing mental health in Indonesia baru sekitar per 100.000 populasi hanya ada 0.4 pyschiatristst, 2,3 Mental health nurses, 0,2 psychologists. Bisa di artikan kurang dari satu tenaga profesional harus menangani 100.000 masyarakat, yakni hanya 2% dari keseluruhan anggaran bidang kesehatan yang digunakan untuk bidang kesehatan mental. Padahal kesehatan mental menjadi top kelima penyakit di usia remaja awal sampai dewasa menengah ataupun gen Z. Khususnya korelasi antara konektivitas digital dan peningkatan tingkat kecemasan.
Penelitian menunjukkan korelasi antara penggunaan media sosial dan peningkatan prevalensi kecemasan serta perasaan tidak memadai pada Generasi Z. Paparan berkelanjutan terhadap konten yang menampilkan representasi ideal dan terkurasi dari kehidupan individu lain memicu perbandingan sosial yang bias dan tidak realistis. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) diperkuat oleh algoritma media sosial yang secara konsisten menyajikan konten yang menyoroti pengalaman dan aktivitas sosial orang lain. Tekanan untuk menampilkan citra diri yang ideal dan menarik di media sosial, yang seringkali tidak mencerminkan realitas, berkontribusi pada peningkatan kecemasan, depresi, dan penurunan harga diri.
Cyberbullying juga merupakan faktor risiko yang serius terhadap kesehatan mental Generasi Z. Perilaku ini yang dapat berupa komentar negatif, pelecehan verbal, atau penyebaran informasi palsu secara online, menimbulkan trauma psikologis yang berdampak luas. Studi menunjukkan korelasi antara pengalaman cyberbullying dengan peningkatan insiden kecemasan, depresi, dan ideasi bunuh diri. Anonimitas yang melekat pada platform media sosial seringkali memperburuk dampak cyberbullying dengan mengurangi hambatan bagi pelaku dan meningkatkan impunitas. Media sosial menunjukkan pengaruh ganda terhadap pembentukan kepercayaan diri pada Generasi Z. Platform tersebut dapat memfasilitasi ekspresi kreativitas, pengembangan jejaring sosial, dan akses terhadap dukungan sosial. Namun, ketergantungan pada validasi eksternal, yang diukur melalui metrik seperti likes, komentar, dan jumlah pengikut dapat mengakibatkan penurunan harga diri dan ketidak amanan. Kurangnya pengakuan atau interaksi positif di media sosial dapat diinterpretasikan sebagai penolakan sosial dan memicu perasaan tidak berharga.
Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat berdampak dengan gangguan pola tidur dan penurunan kualitas hidup. Paparan cahaya biru yang dipancarkan oleh perangkat digital menghambat produksi melatonin, hormon yang mengatur ritme sirkadian dan siklus tidur-bangun. Lebih lanjut, kebiasaan scrolling media sosial sebelum tidur dapat mengganggu proses relaksasi dan meningkatkan stimulasi kognitif, sehingga menyebabkan kesulitan tidur (insomnia). Akibatnya, individu dapat mengalami kelelahan, penurunan kemampuan kognitif, dan peningkatan kerentanan terhadap masalah kesehatan mental. Walaupun media sosial bisa berdampak buruk buat kesehatan mental anak muda, jangan lupa kalau media sosial juga punya sisi baiknya. Kita bisa terhubung sama orang lain, dapat informasi, dan mengekspos diri kita di media sosial. Yang penting kita bisa pinter-pinter mengatur penggunaannya.
Anak muda apalagi di kalangan generasi Z harus belajar buat memakai media sosial dengan bijak, batasi waktunya, pilih konten yang positif, dan tetap jalin hubungan baik sama orang-orang disekitar mereka. Generasi Z, sebagai pengguna media sosial yang intensif, sangat perlu mengembangkan strategi pengelolaan penggunaan media sosial yang bertanggung jawab untuk meminimalisir dampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis. Dengan perkembangan psikologis yang dinamis, sangat rentan terhadap pengaruh pengaruh negatif media sosial. Untuk lebih meminimalisir dampak ini, pendekatan komprehensif juga sangat diperlukan.
Pertama, batasan waktu penggunaan media sosial harus diterapkan secara tegas, dengan pemanfaatan aplikasi pengatur waktu atau kesepakatan bersama. Aktivitas alternatif yang sehat, seperti olahraga dan hobi, perlu didorong untuk menciptakan keseimbangan. Kedua, seleksi konten yang positif dan edukatif menjadi krusial. Remaja apalagi generasi Z perlu diarahkan untuk mengikuti akun yang membangun, bukan yang merusak citra diri atau menyebarkan informasi yang menyesatkan. Ketiga, komunikasi terbuka dan suportif antara orang tua dan remaja sangat penting. Mendengarkan dengan empati dan memberikan ruang untuk mengekspresikan perasaan terkait pengalaman di media sosial akan membantu membangun kepercayaan dan pemahaman.
Pendidikan literasi media juga sangat perlu diberikan untuk membekali remaja generasi Z dengan kemampuan kritis dalam mengevaluasi informasi dan mengenali manipulasi. Kemudian peran orang tua sebagai role model dalam penggunaan media sosial sangatlah penting. Terakhir, dukungan profesional harus dicari jika remaja mengalami kesulitan mengelola penggunaan media sosial atau dampak negatifnya terhadap kesehatan mental. Maka dari itu, membangun rasa percaya diri yang kuat pada remaja akan membantu mereka menghadapi tekanan sosial dan menghindari ketergantungan pada validasi eksternal dari media sosial.
Dengan pendekatan multi-faceted ini, dampak negatif media sosial pada remaja dapat diminimalisir dan kesejahteraan mereka dapat dijaga. Tidak bisa dipungkiri jika asal mula dampak penggunaan media sosial bergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Jika kita menggunakan media sosial dengan bijak, kita dapat memperoleh manfaat seperti memperluas jaringan, mendapatkan informasi terkini, dan meningkatkan kreativitas. Namun, jika kita menggunakannya secara berlebihan atau tanpa kontrol, dampak negatifnya bisa muncul seperti kecanduan, gangguan mental, dan hilangnya privasi. Penggunaan media sosial yang sehat dan bertanggung jawab sangat penting untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalisir risiko negatifnya.
Penulis: Setia Purnama s Tinambunan
Kader PMII Padangsidimpuan Tapsel (Rayon Pendidikan Agama Islam)
Editor: Titis Khoiriyatus Sholihah