Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kekerasan Seksual : Kejahatan Kemanusiaan yang Tak Berujung

Wednesday, December 8, 2021 | 7:03 AM WIB Last Updated 2021-12-08T15:03:23Z
Foto Utari Nelviandi

Kekerasan seksual bukanlah masalah baru, sudah dari waktu ke waktu hingga silih berganti masalah ini seperti ini tidak berujung. Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, baik perempuan, laki-laki, muda, tua, berkuasa atau tidak berkuasa. Pelaku kekerasan seksual-pun beragam, dan banyak dari pelaku justru berada di lingkungan terdekat korban, bahkan orang-orang yang dipercayai korban. Seperti yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur yakni Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh Novia yang merupakan salah satu Mahasiswi Universitas Brawijaya dan berujung bunuh diri akibat Depresi, Kemudian kasus pelecehan seksual yang dialami oleh salah satu mahasiswi Universitas Riau yang dilecehkan oleh oknum dosen saat melakukan bimbingan, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya. Hal ini sangat memprihatinkan dan kita dapat menilai bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia makin merajalela, hal ini merupakan tanda bahaya, hingga detik inipun Pemerintah belum juga mampu menyediakan Payung Hukum yang lebih komprehensif dalam menanganai kasus kekerasan seksual ini. 

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang atau perbuatan lainnya terhadap tubuh hasrat seksual seseorang atau fungsi reproduksi. Dilakukan secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan kuasa atau relasi gender, yang dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Sedangkan untuk jenis kekerasan seksual Komisi Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah melakukan pemantauan selama 15 tahun dan hasilnya ada 15 jenis kekerasan seksual yaitu, pemerkosaan, intimidasi seksual termsuk ancaman atau percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, parktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mengintimidasi perempuan, kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Menurut Catatan Tahunan 2020 (CATAHU) Komnas Perempuan bahwa sebanyak 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang dapat dicatatkan pada tahun 2020 berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Hal ini dikarenakan kuesioner yang kembali menurun hampir 100% dari tahun sebelumnya. Pada tahun sebelumnya jumlah pengembalian kuesioner sejumlah 239 lembaga, sedangkan tahun ini hanya 120 lembaga. Namun sebanyak 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020. Dapat disimpulakn bahwa di masa pandemi kasus kekerasan terhadap perempuan  mencapai angka tertinggi.

Indonesia bebas kekerasan seksual tampaknya masih sebatas mimpi di siang bolong, di ruang-ruang yang harusnya bebas dari kekerasan seksual pun, ruang privat, universitas dan institusi negara, faktanya justru turut memproduksi kasus. Hal ini diakibatkan cara pandang Budaya Patriarki yang memposisikan perempuan selalu subordinat dan laki-laki dalam status yang dominan. Ini kemudian menjadi narasi yang terkonstruksi sampai sekarang, laki-laki menguasai dan perempuan dikuasai. Tentu perempuan yang dirugikan selalu dipandang sebagai objek untuk melakukan kekerasan seksual. Hal inilah mengapa kasus kekerasan seksual terus meningkat terjadi di negeri ini. Kejahatan kemanusiaan ini terus menerus menjadi momok yang menakutkan dan tak kunjung selesai. 

Perempuan sebagai korban yang paling dominan mengalami kekerasan seksual tentu mengalami traumatis yang mendalam, stres, depresi dan bahkan gangguan kesehatan lainnya. Tidak sedikit dari korban yang merasa jijik dan bahkan menyalahkan diri mereka sendiri karena kekerasan yang sudah mereka alami. Prilaku menyalahkan diri sendiri ini juga diperparah dengan kebudayaan pro pelaku, bahwa kasus kekerasan seksual adalah salah korban sendiri. Tentu pemulihan korban serta stigmatisasi negatif terhadap korban ini yang harus dihilangkan. Bukan hanya fokus kepada pelaku yang diadili atau dipidanakan.

Pada ruang lingkup yang lebih luas, negara perlu dan harus segera mengatur secara rinci tentang regulasi payung atas kekerasan seksual. Tiadanya sistem pemidanaan dan penindakan yang jelas menyebabkan pelaku dengan mudahnya lolos dari jeratan hukum. Selalu ujung kasusnya diselesaikan secara kekeluargaan dan menyerahkan seluruh hak-hak perempuan dengan cara menikahinya. Hal inilah yang banyak terjadi. 

Payung Hukum yang lebih komprehensif yang saat ini sangat dibutuhkan yakni pengesahan dari Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang saat ini sudah masuk kedalam daftar Prolegnas 2022. Hal ini juga sekaligus sebagai bukti komitmen pengimplementasian The Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) yakni perjanjian HAM Internasional yang mengatur penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan dan didalamnya juga termasuk hak bebas dari kekerasan seksual. Pada Draf RUU ini, setidaknya telah mengatur definisi sembilan (9) jenis tindak pidana kekerasan seksual secara lebih luas, guna menjangkau para pelaku yang selama ini lolos hukum hanya karena tindakan mereka tidak memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana (Amnesty International, 2020). Keadilan perlu ditegakkan dengan cara menghukum pelaku dan memulihkan korban melalui kepastian hukum yang jelas.   

Penulis: Utari Nelviandi, SH
Kader KOPRI Riau
Editor : Eky

×
Berita Terbaru Update