Di tengah pusaran modernitas yang ditandai oleh percepatan arus informasi, globalisasi ide, dan dinamika politik yang terus bergeser, persoalan kesetaraan gender tetap menjadi perdebatan panjang dalam ruang gerakan mahasiswa. Perempuan, meskipun jumlahnya signifikan di ruang publik dan organisasi kemahasiswaan, masih kerap ditempatkan pada posisi simbolik belaka. Mereka hadir, tetapi kehadirannya sering kali hanya untuk memenuhi kuota keterwakilan atau sekadar memperindah wajah organisasi, bukan untuk benar-benar menjadi penggerak utama perubahan.
Dalam konteks Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), organisasi yang lahir dari rahim sejarah panjang pergerakan intelektual Muslim Indonesia, ironi ini semakin jelas. PMII yang
membawa visi keadilan sosial, demokrasi, dan nilai keislaman sering kali masih terjebak pada praktik internal yang bias gender. Padahal, keadilan gender bukan sekadar isu normatif, melainkan inti dari cita-cita Islam yang rahmatan lil alamin.
Di titik inilah penting untuk mengurai politik perlawanan perempuan dalam tubuh PMII. Perlawanan yang dimaksud bukanlah pemberontakan destruktif, melainkan strategi kritis untuk menjahit ulang narasi keadilan gender yang selama ini terkoyak oleh dominasi patriarki. Tulisan ini mencoba menegaskan posisi perempuan PMII sebagai subjek sejarah yang aktif, bukan sekadar pelengkap, dengan membahas warisan patriarki, alasan perempuan harus melawan, bentuk politik perlawanan, narasi baru yang dijahit ulang, tantangan, hingga implikasi politik dari perlawanan tersebut.
Latar Sosial-Patriarki dalam PMII
Sejarah panjang patriarki di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari bagaimana organisasi mahasiswa, termasuk PMII, memandang dan memperlakukan perempuan. Patriarki bukan sekadar struktur sosial yang diwarisi dari budaya agraris atau kolonial, melainkan sistem ideologi yang menormalisasi ketidaksetaraan., Dalam tubuh PMII, warisan patriarki tampak dalam pembagian kerja organisasi.
Laki-laki biasanya mendominasi posisi strategis seperti ketua cabang, ketua komisariat, atau bahkan kepemimpinan di tingkat pusat. Sementara itu, perempuan kerap ditempatkan dalam bidang-bidang yang dianggap “feminin”: sekretaris, bendahara, konsumsi, dokumentasi, atau dekorasi acara.
Pembagian kerja yang bias ini seakan menjadi hukum tak tertulis yang sulit ditembus. Kondisi ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi struktural. Ia mencerminkan bagaimana budaya patriarki membatasi perempuan dengan dalih “kodrat” atau “kepantasan sosial”. Padahal, Islam sendiri menempatkan manusia secara setara, tanpa diskriminasi gender dalam hal akal, potensi, maupun kemampuan kepemimpinan. Oleh karena itu, perlawanan perempuan PMII terhadap warisan patriarki bukan sekadar urusan personal, tetapi merupakan proyek kolektif untuk mengembalikan ruh keadilan dalam gerakan.
Mengapa Perempuan Harus Melawan
Perempuan PMII harus melawan bukan karena sekadar ingin menggeser dominasi laki-laki, melainkan karena ada nilai yang harus ditegakkan: keadilan. Diam berarti tunduk pada penindasan struktural. Diam berarti membiarkan nilai-nilai Islam yang progresif terkubur di bawah puing-puing budaya patriarki.
Ada setidaknya tiga alasan mendasar mengapa perempuan PMII harus melawan:
1. Prinsip Kesetaraan
PMII mengusung nilai demokrasi, humanisme, dan keadilan. Jika perempuan dibiarkan termarjinalkan, maka PMII sedang mengkhianati prinsip dasarnya sendiri.
2. Produksi Pengetahuan
Tanpa keterlibatan perempuan secara setara, produksi pengetahuan dalam tubuh PMII akan timpang. Perempuan harus melawan untuk memastikan bahwa perspektif dan pengalaman mereka tidak hilang dalam wacana intelektual.
3. Strategi Kelangsungan Gerakan
Gerakan yang bias gender akan rapuh, karena menyingkirkan separuh potensi kadernya. Perlawanan perempuan justru menjadi jalan untuk memperkuat PMII agar tetap relevan dengan tuntutan zaman.Politik perlawanan perempuan dalam tubuh PMII dapat dipetakan dalam tiga bentuk utama: perlawanan wacana, praksis, dan struktural.
1. Perlawanan Wacana
Perempuan harus hadir sebagai produsen ide, bukan sekadar konsumen. Mereka perlu menggugat tafsir keagamaan yang bias gender, menghadirkan perspektif feminisme Islam, dan menjadikan forum-forum intelektual PMII sebagai ruang dekolonisasi patriarki. Misalnya, dalam diskusi kader, perempuan bisa mengajukan tafsir progresif atas ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan kesetaraan, serta mengkritik tafsir klasik yang sering dijadikan legitimasi subordinasi perempuan. Perlawanan wacana inilah yang membangun kesadaran kritis kolektif.
2. Perlawanan Praksis
Politik perlawanan juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Perempuan PMII harus berani mencalonkan diri sebagai ketua, menginisiasi aksi demonstrasi, menulis opini kritis di media, dan menjadi penggerak utama kegiatan strategis. Dengan praksis nyata, perempuan tidak hanya membantah stereotip “perempuan lemah”, tetapi juga membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin.
3. Perlawanan Struktural
Perlawanan tidak cukup berhenti pada level wacana dan praksis, tetapi harus dilembagakan dalam sistem. Misalnya, mendorong aturan internal tentang keterwakilan perempuan minimal 30 persen di kepengurusan, membuat kurikulum kaderisasi yang adil gender, dan mengadakan pelatihan kepemimpinan perempuan. Perlawanan struktural menjamin keberlanjutan perjuangan, agar kesetaraan tidak bergantung pada goodwill individu, melainkan menjadi
budaya organisasi.
Menjahit Ulang Narasi Keadilan Gender
Narasi keadilan gender dalam PMII selama ini sering hanya menjadi jargon. Menjahit ulang berarti merumuskan kembali narasi itu agar kontekstual, progresif, dan aplikatif. Ada tiga langkah penting:
1. Dekonstruksi Teks dan Tradisi
Perempuan harus mengkritisi tradisi yang membatasi peran mereka, baik dalam tafsir agama maupun kebiasaan organisasi. Dekonstruksi ini bukan berarti menolak agama, tetapi menolak penafsiran yang bias.
2. Rekonstruksi Wacana Gerakan
PMII harus memosisikan keadilan gender bukan sebagai isu sampingan, melainkan perspektif dasar dalam seluruh agenda gerakan: advokasi, intelektual, maupun sosial.
3. Integrasi ke dalam Praksis
Narasi keadilan gender tidak boleh berhenti sebagai teori. Ia harus diwujudkan dalam kepemimpinan perempuan, kebijakan organisasi, dan praktik sehari-hari.
Tantangan dan Hambatan
Politik perlawanan perempuan dalam PMII tentu tidak mudah. Ada sejumlah hambatan:
• Budaya Organisasi yang masih bias gender dan sering meremehkan kemampuan perempuan.
• Internalisasi Patriarki di kalangan perempuan sendiri, yang membuat sebagian kader ragu melawan atau merasa “tidak pantas” memimpin.
• Stigma Sosial dari masyarakat luas, yang masih menganggap perempuan tidak layak berada diruang publik dan politik.
• Resistensi Laki-Laki yang takut kehilangan privilese dalam organisasi.
Hambatan-hambatan ini justru menjadi alasan mengapa perlawanan perempuan harus terus dilanjutkan.
Implikasi Politik Perlawanan
Jika perempuan PMII berhasil menjahit ulang narasi keadilan gender, ada sejumlah implikasi positif:
1. Penguatan Demokrasi Internal
PMII akan menjadi organisasi yang lebih demokratis karena seluruh kader mendapat ruang setara.
2. Produksi Intelektual yang Lebih Kaya
Dengan melibatkan perspektif perempuan, wacana PMII akan lebih komprehensif, kritis, dan berakar pada realitas.
3. Transformasi Gerakan Sosial
Politik perlawanan perempuan dapat menjadi model bagi gerakan sosial lain di Indonesia, bahwa keadilan gender adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan demokrasi dan kemanusiaan.
Politik perlawanan perempuan di tubuh PMII bukanlah sekadar isu internal organisasi, melainkan bagian dari perjuangan panjang melawan ketidakadilan struktural. Perempuan tidak lagi boleh ditempatkan di pinggiran sejarah. Mereka harus hadir sebagai aktor utama, pemimpin, dan produsen pengetahuan. Menjahit ulang narasi keadilan gender di PMII berarti mengembalikan ruh Islam yang sejatinya berpihak pada keadilan, sekaligus memastikan PMII tetap relevan di era modern. Perempuan yang melawan bukanlah ancaman, melainkan harapan. Karena tanpa perlawanan perempuan, PMII akan kehilangan separuh jiwanya.
Nama : Anis Nuraini (Ilmu Sosial Ilmu PolitikUINSA)
Jabatan : Biro Jurnalistik Rayon
Editor : Titis Khoiriyatus Sholihah
