Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

KOPRI, Perempuan dan Ambiguitas Diri

Sunday, December 12, 2021 | 6:11 AM WIB Last Updated 2021-12-12T14:11:18Z
Foto Yuliasinta Haninur

Sebelum dimulai tulisan mengenai perempuan, perlu ditandaskan bahwa kritik bisa diarahkan ke mana saja tanpa terkecuali kepada diri sendiri. Ini yang disebut sebagai evaluasi. Adapun kritik bisa benar dan juga bisa salah sebab alat dari kritik adalah analisis.

Jika evaluasi diterima dengan baik dan dengan tangan terbuka maka perbaikan juga akan terjadi. Namun jika evaluasi dicurigai dan tidak diterima dengan tangan terbuka maka perubahan akan sulit dilaksanakan. Konsekuensi logis lainnya adalah stagnasi.

Uraian di atas sudah cukup menjelaskan bahwa tulisan ini ditujukan untuk kader PMII, khususnya KOPRI PMII. KOPRI merupakan wadah bagi kader PMII berjenis kelamin perempuan untuk mengaktualisasikan ide dan gagasan kreatifnya. Intinya, KOPRI adalah identitas kader perempuan PMII.

Namun sudah sesuaikah selama ini KOPRI memposisikan diri dalam percaturan dan dinamika politik sosial budaya di organisasi PMII, atau bahkan (baca: mungkin) dinamika politik sosial budaya negara Indonesia.

KOPRI terdiri dari berbagai unsur. Mulai dari peraturan, struktur pengurus, anggota hingga wacana. Keunikan KOPRI adalah karena ia memiliki unsur-unsur di atas. Pertama, peraturan yang berbeda dengan PMII secara umum, kedua pengurus yang juga berbeda dengan PMII secara umum hingga wacana yang dibangunnya juga berbeda.

Tapi, keunikan ini tidak menjadikan KOPRI luar biasa. Justru dalam kenyataannya KOPRI biasa-biasa saja. Tanpa KOPRI juga PMII bisa berjalan. Bahkan, dinamika politik sosial budaya PMII lebih menarik jika kader-kader perempuan tidak masuk dan berkumpul di wadah khusus bernama KOPRI.

Secara umum, pandangan di atas dimiliki oleh banyak pengurus di berbagai wilayah. Pandangan yang mempertanyakan eksistensi KOPRI. Bahkan di level paling bawah sekalipun, Rayon misalnya, KOPRI tidak memiliki peran yang signifikan seperti organisasi PMII umumnya.

Tidak lupa, saya dengan pemikiran terbuka siap menerima kritik atas tulisan ini. Kritik yang santun dan penuh argumentasi sangat diharapkan supaya diskusi lebih mengalir.

Di bagian pertama tulisan ini, kritik diarahkan kepada anggota KOPRI. Kader perempuan di berbagai wilayah memiliki kuantitas yang lebih banyak dibanding kader berjenis kelamin laki-laki. Ini bisa dilihat dari pertama kali kaderisasi PMII dilakukan, yaitu MAPABA.

Namun, ketimpangan mulai terjadi ketika kaderisasi PKD dilaksanakan, kader berjenis perempuan mulai menyusut. Ketahanan mereka dalam keaktifan berorganisasi mulai tidak seimbang. Pola ini terus terjadi hingga tingkat PKN.

Mitos kemudian berkembang jika 'hal itu terjadi karena seleksi alam'. Why? Cara berpikir yang jabariyah seperti ini tidak sama sekali mencirikan nalar PMII. Mitos-mitos lain yang memiliki nada sama juga tampak digaung-gaungkan sehingga menjadikan 'tragedi ngeri' itu dianggap biasa.

Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah kader perempuan memiliki wadah tersendiri, memiliki wacana sendiri bahkan memiliki peraturan dan pengurus sendiri. Kenapa 'tragedi ngeri' masih terjadi, setiap tahun.

Problem ini jika dianalisis dengan teori gender bisa ditemukan beberapa kesimpulan, yang ternyata sama dengan ketimpangan gender di wilayah sosial pada umumnya.

Pertama, beban ganda. Adanya pengurus, wacana hingga peraturan yang berbeda membuat tanggungjawab berat. Terutama setelah harus mengikuti segala peraturan dan aktivisme di organisasi PMII yang umum, kemudian harus menjalankan berbagai tanggungjawab di KOPRI.

Kedua, stigma. Dengan adanya KOPRI justru stigma yang muncul adalah ketidakmampuan perempuan dalam berdikari. Stigma ini muncul dari dari ketidakmampuan pengurus KOPRI dalam mengurus rumah tangganya sendiri di KOPRI. Banyak kegiatan dan program terbengkalai. 

Ketiga, marginalisasi. Dengan tidak fokusnya kader perempuan di organisasi PMII secara umum maka marginalisasi juga ditemukan. Hal ini berjalan seiringan dengan subordinasi.

Untuk sementara dituliskan terlebih dahulu poin umumnya. Untuk selanjutnya, akan dijelaskan lebih rigid bagaimana ketimpangan gender justru muncul akibat kehadiran lembaga semi otonom bernama KOPRI.

Penulis : Yuliasinta Haninur
Sekretaris I PC PMII Kebumen
Editor : Eky 
×
Berita Terbaru Update