Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ekonomi Politik Global dan Demokrasi; Antara Pandemi dan Resesi

Wednesday, January 5, 2022 | 8:40 AM WIB Last Updated 2022-01-05T16:40:45Z
Foto Sabil Mukhlishin

Pertumbuhan ekonomi global yang melemah dengan rata-rata pertumbuhan negatif antara 0.1% hingga 5% menjadi ancaman wabah resesi yang diperkirakan menguat pada tahun 2020 dan berakhir pada tahun 2024. Resesi ini diperkirakan lebih besar dari resesi sebelumnya yang terjadi pada tahun 2008, Amerika, Inggris, Italia, Jerman dan Hongkong telah berada pada ujung jurang resesi, bahkan Beberapa negara seperti Sudan Selatan, Sudan, Korea Utara, Republik Afrika Tengah, dan Venezuela berada pada inflasi hingga hiperinflasi. Perang dagang Amerika dan China ditenggarai menjadi pemicu utama dari ancaman wabah serta resesi ekonomi global.

Penelitian INDEF (institute for development of economics and ) antisipasi risiko resesi ekonomi menemukan lima faktor utama sebagai potensi sumber resesi ekonomi nasional, sektor perdagangan nasional yang melemah karena efek perdagangan global, Penurunan harga minyak dunia, perlambatan ekonomi China, lonjakan hutang nasional, dan sektor keuangan global yang tidak menentu. Potensi-potensi sumber resesi ekonomi nasional ini memperlihatkan kuatnya ancaman resesi ekonomi nasional, meskipun pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan aman dari resesi.

Resesi sebagai pemicu inflasi dan krisis ekonomi merupakan ancaman bagi  stabilitas negara dan demokrasi.  Lipset (1960)  secara tegas mengungkapkan dalam analisa penelitiannya, bahwa kemakmuran ekonomi memiliki hubungan yang erat dengan demokrasi, meskipun menurutnya legitimasi, efektivitas, dan konflik juga cukup dominan menjaga stabilitas demokrasi. Demokratisasi yang berlangsung di negara-negara Eropa Timur sejak tahun 1989 dan merembet ke negara-negara Afrika dan Asia pada tahun 1990-an memperlihatkan demokratisasi mampu mendorong kemakmuran ekonomi. Meski demikian, O’Donnell (1973) dari studinya terhadap negara-negara latin memperlihatkan relasi terbalik pertumbuhan ekonomi,  otoritarianisme menguat di Amerika latin dengan dominasi kekuatan militer, birokrat dan modal internasional.

Krisis ekonomi global yang terjadi sejak tahun 2008 dan melanda berbagai negara liberal maupun sosialis menciptakan berbagai anomali politik global. Pertama, menguatnya diliberalisasi negera-negara demokratis beriringan dengan menguatnya populisme yang mendukung proteksionisme serta nativisme anti imigran. Inglehart dan Norris (2016)  menganggap kemunculan tren populisme global disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor kesenjangan ekonomi dan pertentangan kultural. Kedua, Menguatnya desosialisme negara-negara Amerika Latin dengan bangkitnya kekuatan sayap kanan yang lebih pro terhadap liberalisasi ekonomi. Kudeta militer terhadap Evo Morales menjadi simbolisasi robohnya rezim kiri di Amerika Latin. 

Menuju Titik Equilibrium Baru
Resesi ekonomi global yang terjadi dari tahun 2008 tidak hanya mengganggu keseimbangan ekonomi global namun  mendorong masyarakat dunia mencari titik keseimbangan baru. Politik kombinasi dan Politik elektik antara liberalisme dan sosialisme menjadi tren  baru politik global. Globalisasi sebagai nafas dari liberalisme bertransformasi menjadi liberalisme proteksionis dan nativis.  Kalangan  sosialisme Amerika  bergerak terbalik, mulai membuka diri dengan bantuan IMF (international monetary fund) dan menyatukan pola sosialisme dan pola pasar terbuka. Langkah adaptif yang dilakukan oleh berbagai negara liberal dan negara sosialis menjadi catatan sejarah penting meski mungkin berlaku surut, fleksibilitas politik merupakan jawaban dalam menjawab berbagai anomali politik global ini, namun demikian keadilan sosial tetap harus menjadi solusi utama kemakmuran antar bangsa, sehingga mampu menciptakan suasana jiwa individu yang berperikemanusiaan, berkeadilan dan beradab.  Seperti yang dikatakan oleh presiden ketiga Amerika, Thomas Jefferson, Dalam hal gaya, berenanglah mengikuti arus, Dalam hal prinsip, berdirilah seperti batu karang.
Demokrasi Indonesia sebagai solusi elektik.

Era otoriter berakhir tanpa perlu ada gejolak politik yang mengarah kepada perpecahan dan telah menciptakan instabilitas nasional seperti di era reformasi sekarang. Sebagai warga negara Indonesia, tentu saja harus bersyukur Indonesia telah menjadi bangsa yang plural serta menganut budaya kebersamaan, dan iklim demokrasi dapat melunak dan mengeras sesuai kondisi politik yang ada. Kebijakan politik dan ekonomi yang demokratis dan terbuka dengan semua negara dalam artian bebas-aktif harus terus menjadi landasan ekonomi nasional sehingga Indonesia tidak terjebak dalam arus kepentingan tertentu, dan tetap kuat dari serangan wabah serta resesi ekonomi global.

Penulis : Sabil Mukhlishin
Kader PMII Rayon Fisip UINSA
Editor : Eky
×
Berita Terbaru Update