Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

KOPRI Melek Literasi untuk Membangun Kepercayaan Diri dalam Mewujudkan Persuasi Kesetaraan Gender

Sunday, January 2, 2022 | 1:18 AM WIB Last Updated 2022-01-02T09:18:36Z
Foto Anita Maria

Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan berita dan fenomena kekerasan seksual yang pasti peristiwanya menimpa perempuan. ketika saya membuka temline di platform media sosial bahkan sampai pada platfrom berita digital, sorotan trending dengan tagar-tagar kekerasan seksual, pemerkosan dan lain sebagainya bermunculan. Hastag-hastag save Novi, Pesantaren bahkan percumalapor polisi dan sejenisnya menjadi sorotan. Bahkan kinerja dari penjabat pemerintahan pun dipertanyatakan karena highlight yang beredar. Seolah media menjadi tempat pengumpulan massa agar hukum mau mengangkat palunya. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan teknologi yang sekarang sangat digandrungi dan menjadi kebutuhan sarana informasi dan komunikasi sangat efektif untuk menyebar jejak-jejak digital.

Tapi, pernah gak sih terfikir, kenapa banyak diskriminsi dan kekerasan seksual yang menimpa wanita? Kenapa di dalam hal partisipasi politik, UU NO 10 Tahun 2008 harus mempertegas keterlibatan perempuan dalam partai politik sekurang-kurangnya 30 persen untuk partai bisa ikut kontestasi? Atau secara sederhananya kenapa diforum diskusi perempuan tak begitu banyak yang mau bersuara?. Isu-isu basi ini yang tak banyak disadari atau tak banyak yang mau peduli, khususnya dikalangan wanita sendiri. Bahkan pradigma yang masih berkembang bahwa perempuan hanya berperan di kasur, dapur dan sumur. Dikasus lain, dengan mengatasnamakan agama wanita dituntut untuk menjadi orang yang patuh dan manut-manut saja terhadap apapun tindakan suami yang katanya perintah agama. Dengan diiming-imingi surga perempuan juga diminta sabar jika tidak seberuntung wanita lain karena mendapatkan kekerasan yang dilakukan secara khilaf katanya.

Inilah yang merupakan fenomena ketidaksetaraan gender yang terus bergulir dari waktu ke waktu. Tapi sebelum kita bicara lebih jauh tentang p ketidaksetaraan gender terhadap perempuan, seharusnya kita perlu lebih memahami, apa yang dimaksud gender itu sendiri. Menurut KEMENPPPA, gender merupakan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan atau gender merupakan sifat yang dilekakan pada laki=laki dan perempuan. Barangkat dari definisai yang sangat universal ini, tidak sedikit yang berpandangan bahwa perempuan adalah mahkluk yang lemah, bahkan mengkotak-kotaknya atau memberi ruang batasan terhadap perempuan. Bahasa kerennya patriaki atas kuasa laki-laki yang mendominasi diatas perempuan. Mirisnya, tidak sedikit wanita yang sepakat dangan konstruksi sosial dengan dokrin patriaki yang berkembang, bahwa wanita memang mahkluk lamah yang selalu harus menerima dan dibina.

Ketidakkuasaan perempuan semakin nyata saat mereka tidak sadar dan tidak peduli bahwa mereka memiliki hak yang setara diruang publik atau ranah politik. Ketika mereka tertipu dengan kenyamanan semu yang diperolehnya dan lupa akan perannya sebagai manusia berkualitas yang bisa berjuang dan sama kerasnya dengan laki-laki. Perempuan bersepakat bahwa mereka memang terlalu mengedepankan perasan dibandingkan logika, perempuan terlalu lemah untuk menentukan keputusan karena kurang rasional. Perempuan terlalu baperan untuk menyatakan sikap. Konsep perempuan tidak pernah salah merupakan bukti dari ketidakpercayaan diri perempuan untuk menentukan sikap sehingga harus dibenarkan. Konstrusi inilah yang dibangun agar perempuan cukup mendapatkan kenyamanan dan tidak perlu repot menuntut hak sosialnya.

Inilah kesepakatan yang diimani perempuan sehingga menutup celah menegakkan keadilan gender
Maka dari itu, membangun kepercayaan diri melalui gerakan litersi untuk membiasakan budaya literasi dikalangan perempuan khususnya KOPRI menjadi sangat penting. Melalui literasi perempuan dapat memahami hak, peran dan kewajibannya. Melalui literasi pula perempuan dapat meningkatkan kualitas dirinya. Litersi akan mendorong seseorang untuk melihat setiap persoalan dengan berbagai sudut pandang dan berpikiran terbuka. Sehingga literasi menjadi basic skill sekaligus fondasi utama bagi perempuan untuk memahami dirinya.

Perlu disadari, membangun budaya literasi tidak segamblang like, komen and share di media sosial, tidak semudah update status di whatshapp story, IG, maupun FB. bahkah tidak semudah update pilihan dikeranjang shopee. Najwa Shihab pernah berkat “Kamu hanya perlu satu buku untuk jatuh cinta dengan membaca, maka cari dan temukanlah buku itu”.

Pentingnya kesadaran literasi disemua kalangan tanpa adanya sekat-sekat kepentingan merupakan bagian dari kewajiban menuntut ilmu. seperti hadis yang mengatakan “ tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat”. Tidak ada batasan dan diskriminasi dalam menuntut ilmu. Tetapi yang disayangkan adalah rendahnya budaya literasi ini dikalagan anak muda khususnya perempuan. Pentingnya peran serta kepengurusan dan kader di PMII untuk membangun kembali budaya literasi ini juga tidak bisa dilepaskan dengan kesadaran sebagai insan penggerak dalam pergerakan. Perlu adanya inovasi dan keterlibatan aktif kader maupun anggota PMII diranah akdemisi menjadi langkah awal membangun budaya literasi. Pengkaderan di jenjang kaderisasi kopri menjadi kawajiban yang harus dituntaskan bukanlah suatu beban, melainkan wadah untuk menempa perempuan untuk mampu bertarung memperjuangkan haknya sekaligus tanggung jawab untuk menyelesaikan pengkaderan.

Penulis : Anita Maria. S 
Kader PMII Rayon ISIP 
Universitas Jambi 
Editor : Eky
×
Berita Terbaru Update