Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pengaruh Literasi Terhadap Perkembangan Bangsa

Sunday, March 26, 2023 | 12:39 AM WIB Last Updated 2023-03-26T07:39:40Z





Globalisasi dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari dari perkembangan zaman yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Walaupun pada zaman dahulu, Generasi sebelum kita masih berada dalam keadaan minimalis, mereka membuktikan kepada kita, bahwa semangat membaca tidak pernah surut. Sehingga karya-karya mereka, masih dapat kita nikmati dan pelajari hingga saat ini.

Seiring dengan perjalanan waktu, memasuki era cyber society, dimana setiap orang dipaksa melek akan perkembangan teknologi digital sebagai syarat untuk menjadi konsumen maupun produsen informasi. Akibatnya, berpengaruh cukup besar terhadap perubahan perilaku sosial yang terjadi dalam kehidupan kita.

Apalagi sekarang, trend media sosial dianggap suatu zaman modernisasi, terlebih malah menjadi bumerang jika kita tidak bijak dalam menyikapinya. Sedangkan nasehat dari orang tua dianggap suatu hal yang kuno di kalangan kawula muda. Di era serba digital saat ini, yang menjadi daya tarik bagi anak-anak adalah Smartphone dengan segala macam fiturnya, bukan lagi kegiatan literasi (baca tulis).

Laporan Newzoo menunjukkan bahwa pengguna ponsel pintar (smartphone) terbesar berada di Tiongkok. Sedangkan Indonesia, menempati posisi keempat dengan 170,4 juta pengguna Smartphone. Penetrasi smartphone di dalam negeri telah mencapai 61,7% dari total populasi. Dari hasil survei ini, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia sudah memiliki smartphone. Jumlahnya hampir mencapai 2/3 dari total masyarakat Indonesia atau dua kali lipat dibandingkan dengan yang tidak memiliki smartphone. Hal ini sangat berpengaruh terhadap aspek sosial budaya masyarakat di Indonesia.

Selain itu hasil survei yang dilakukan oleh United Nations Educational, Scientific And Cultural Organization (UNESCO) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10-15 buku dalam setahun.

Akan tetapi, tidak ada yang mengkritisi permasalahan ini, tidak ada yang berdiskusi panjang di media mengenai fenomena ini. Tidak ada dialog para pakar untuk membahasnya. Data itu hanya dibaca dan dianggap sebagai berita setengah menit yang berlalu begitu saja. Mungkinkah memang tidak ada yang peduli fenomena termarjinalkannya budaya literasi dari diskusi publik? Jika masyarakat, khususnya para pemuda malas membaca, mau jadi apa bangsa Indonesia di masa depan?

Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kecerdasan dan pengetahuan masyarakatnya. Kecerdasan dan pengetahuan dihasilkan oleh seberapa ilmu pengetahuan yang didapat, sedangkan ilmu pengetahuan diperoleh dari informasi lisan maupun tulisan. Namun, ironisnya jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per-tahun.

Dalam menciptakan masyarakat yang cerdas, literasi sangat berperan penting, yang mana nantinya akan membentuk suatu bangsa yang berkualitas. Oleh karena itu, jika isu ini dipinggirkan dari perbincangan publik, nantinya akan menjadi sebuah kesalahan besar. Apalagi meninggalkannya dalam perumusan permasalahan publik.

Literasi secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun, sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga literasi bukan hanya kemampuan membaca dan menulis, melainkan kemampuan berbicara, menghitung, dan juga memecahkan masalah di dalam kehidupan sehari-hari.
Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer, literasi media, literasi teknologi, literasi ekonomi, dan literasi informasi. Jadi keberaksaraan atau literasi dapat diartikan melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan.

Media sosial menjadi salah satu literasi media yang harus diperhatikan secara khusus di zaman sekarang. Media sosial merupakan salah satu sarana melakukan komunikasi antar manusia. Munculnya medsos memang berwajah ganda. Satu sisi media bisa meningkatkan hubungan pertemanan yang lebih erat, bisnis, dan beragam layanan jasa daring lainnya. Namun, pada sisi lainnya, medsos juga sering menjadi pemicu munculnya beragam persoalan. Disinyalir dengan maraknya berita bohong, ujaran kebencian, hasutan, caci maki, dan adu domba telah mengancam persatuan dan ideologi bangsa.

Sungguh ironis, ketika era digital hadir dengan segala tawaran fiturnya yang dapat mempermudah akses informasi dan bacaan, sekarang malah belok arah, menjadi darurat minat baca. Padahal minat baca menjadi kunci utama dalam keberaksaraan. Seseorang yang senang membaca akan mempunyai pengetahuan luas, demikian diperoleh dari buku yang dibacanya. Sangat disayangkan, apabila seseorang tidak suka membaca atau mempunyai minat membaca yang rendah karena pengetahuan orang tersebut akan sempit. Minat membaca berbanding lurus dengan tingkat kemajuan pendidikan suatu bangsa. Kegiatan membaca merupakan hal yang sangat penting. Belajar selalu identik dengan kegiatan membaca, karena dengan membaca nantinya akan bertambah pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang. Pendidikan tanpa membaca bagaikan raga tanpa ruh. Fenomena pengangguran intelektual tidak akan terjadi apabila masyarakat memiliki semangat membaca yang membara. Semakin banyak penduduk suatu wilayah yang haus akan ilmu pengetahuan, maka semakin tinggi kualitasnya. Kualitas suatu bangsa biasanya berjalan seiring dengan budaya literasi. Seperti pendapat Ratnasari yang mengatakan bahwa minat adalah suatu perhatian yang kuat terhadap kegiatan membaca sehingga dapat mengarahkan seorang untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Namun, pada kenyataannya minat baca saat ini telah pudar. Tergusur oleh tren gawai budaya instan yang berakibat fatal dapat menurunkan minat baca dalam berliterasi.

Sebelumnya marilah kita refleksikan sebuah untaian kata yang ditulis oleh seorang Novelis Republik Ceko yang bernama Milan Kundera yaitu "Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya. Maka pastilah bangsa itu akan musnah". Untuk itu, dari sebuah untaian kata itu mengartikan literasi adalah sebuah gerbong keberhasilan sebuah bangsa. Jikalau rendahnya minat baca, maka hancurlah sebuah bangsa dan peradaban. Begitu juga sebaliknya, jika tingginya minat baca, maka akan berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa.

Maka dari itu, kita sebagai pemuda, yang mana kemajuan sebuah bangsa ada ditangan kita, penerus sebuah bangsa. Bagaimana bisa kita memajukan bangsa ini ketika kita tidak peka terhadap permasalahan yang ada.

Apalagi saat ini banyak pengguna medsos yang tidak mampu memilah mana informasi yang benar dan mana pula yang palsu (hoax). Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya orang yang tergantung pada medsos. Mayoritas mereka tidak memahami bagaimana menggunakan medsos yang bijak. Sebagai dampak dari ketergantungan pada medsos adalah terjadinya penurunan literasi.

Salah satu dampak yang serius dari akibat penggunaan medsos yang kurang bijak dapat menyebabkan penurunan kemampuan berbicara di muka publik. Dampak ini dapat saja terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia cenderung lebih suka bermain dengan medsos dari pada melakukan interaksi langsung antar sesama. 

Untuk itu, supaya minat baca meningkat di Indonesia khususnya, perlu perhatian lebih dari pemerintah atau para pakar lebih memperhatikan bahwa pentingnya literasi untuk memajukan pemikiran-pemikiran pemuda dengan cara membuat inovasi yang menarik pemikiran para pemuda untuk lebih giat membaca. karna kita ketahui bersama bahwa acara atau event yang bersangkutan penuh dengan literasi masih menjadi suatu hal yang tidak ada gairahnya di kalangan anak muda. Mereka masih menganggap bahwa seminar itu hanya sebuah acara yang membosankan, dimana para narasumber tidak memikirkan bagaimana caranya sebuah seminar itu menjadi seminar yang mempunyai eksistensi, apalagi jika seminar itu dilaksanakan dengan cara online, narasumber hanya terfokus dengan materi tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh peserta ketika menghadiri sebuah seminar tersebut.

Selain kita mengharapkan inovasi yang dilakukan oleh pemerintah, terlebih adalah diri kita sendiri, ketika menghadiri atau mengikuti sebuah kegiatan intelektual, yang harus kita siapkan adalah diri kita sendiri dengan cara membekali diri kita untuk mengikuti seminar dengan topik yang sudah dipaparkan. Supaya kita bisa aktif dalam seminar tersebut dengan mengkritisi pemikiran yang tidak sesuai dengan pemahaman kita.




Penulis : Zarian Septiawan
(Koordinator Biro Jaringan dan Komunikasi Rayon Tabassam)
Editor : M. Hazim Al Ahzab
×
Berita Terbaru Update