Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Reinterpretasi ASWAJA: Menggagas ASWAJA Manhaj Al-Fikr Sebagai Step By Step Dalam Bersikap

Thursday, July 13, 2023 | 6:09 AM WIB Last Updated 2023-07-13T13:22:05Z



Aswaja manhajul fikr yang menjadi landasan para aktivis PMII selama ini sebenarnya merupakan hasil reinterpretasi KH. Said Aqil Siradj dan kritik atas pendefinisian Aswaja yang termaktub dalam Qonun Asasi, yaitu orang yang secara aqidah mengikuti imam Abul Hasan Asy’ari dan Abul Mansur Al-Maturidi; secara fiqih mengikuti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hambali; secara tasawuf mengikuti imam Ghozali dan Imam Junaid.

Menurut beliau definisi tersebut terlalu sederhana dan eksklusif, sehingga beliau menawarkan gagasan baru yaitu menjadikan Aswaja sebagai landasan berpikir (manhaj al fikr) bukan sebagai mazhab.

Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) sebagai manhajul fikr dalam pengertian yang dijelaskan oleh al-mukarrom KH. Said Aqil Siradj adalah:
اَهْلُ مَنْهَجِ الْفِكْرِالدِّيْنِي المُشْتَمِلِ عَلَى شُؤُونِ الحَيَاتِي وَ مُقْتَضَيَاتِهَا القَائِمِ عَلَى أَسَسِ التَّوَسُّطِ وَ التَّوَازُنِ والتَّعَدُّلِ وَالتَّسَامُحِ
“Orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi”.

Dari definisi ini didapatkan bahwa Aswaja manhajul fikr terdiri dari empat prinsip dasar: tawassut (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (berimbang) dan taaddul (adil). 4 prinsip ini adalah hasil reinterpretasi dan telaah Kyai Said terhadap sejarah yang melatarbelakangi pemikiran para ulama saat itu: Aqidah aliran Imam Asy’ari dan Imam Maturidi yang merupakan penengah antara ekstremitas rasionalisme Mu’tazilah dan skriptualisme Salafiyah. Lalu dalam fiqih 4 madzhab yang merupakan perpaduan antara cara berpikir para ahlul hadis dan ahlu ra’y (rasio), juga tasawufnya Imam Ghazali dan Imam Junaid dalam menengahi kaum filsuf muslim yang terlalu material sehingga menihilkan aspek moras dan spiritual dan kaum batiniyah yang terlalu mengedepankan aspek batin, sehingga melumpuhkan intelektualitas dan etos kerja. (Selanjutnya dapat sahabat semua baca dalam buku “Kontroversi Aswaja. Aula perdebatan dan reinterpretasi.”)

Namun Aswaja yang demikian ini masih membingungkan untuk diterapkan dalam menjawab masalah-masalah konkrit pada setiap lini kehidupan. Jauh dari harapan yang tertera dalam pengertiannya sendiri. Dan benar, banyak literatur yang menguatkan dan mengakui bahwa gagasan Aswaja manhajul fikr ini masih abstrak dan butuh kajian yang mendalam. Di antaranya adalah literatur berikut:
“Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja yang belum usai, menyimpan kontradiksi disana-sini, belum ada bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional? Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan intelektual” para aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media “uji coba” dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesuai dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?”. (Amrullah Ali Moebin dkk. Hitam putih PMII)

Membaca pernyataan diatas memunculkan pertanyaan pada benak penulis, yang bisa menjadi bahan diskusi untuk saya dan sahabat pembaca: Bagaimanakah sejarah PMII menjadikan Aswaja manhajul fikr sebagai pedoman Keberislamannya? Yang mana awal kemunculan gagasan ini pada tahun 1996 sangatlah kontroversial dan mendapat respon negatif dari banyak kyai NU? Lalu pedoman Aswaja seperti apa yang digunakan oleh PMII sebelum terjadinya perdebatan Aswaja tersebut dan apa peran mereka saat itu? Semoga saja pertanyaan ini dapat terjawab dalam buku bung Nur Sayyid Kristeva Santoso (disapa bung Kris, pejuang PMII garis kultural) yang terbaru “Risalah Pergerakan”, yang akan terbit sebentar lagi. Ditunggu bukunya bung. Salam ta’dhim.

Oleh karenanya, penulis menawarkan interpretasi baru dalam menggunakan Aswaja manhajul fikr ini, yang penulis tangkap dari salah satu senior. Yakni menjadikannya sebagai langkah-langkah dalam bersikap. Yakni pedoman yang berbentuk step by step yang jelas. Bagaimana itu?
Secara berurutan, langkah-langkah untuk bersikap Aswaja adalah sebagai berikut:

1. Tawassut (berada ditengah)
Langkah awal dan yang paling utama menurut penulis adalah memantapkan hati dan yakin bahwa masing-masing kubu yang berseteru mempunyai argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan dan niat yang baik (setidaknya menurut kubu mereka sendiri) atas gagasan atau tindakan mereka. Dengan berpikir seperti ini, kita akan senantiasa berada di tengah dan tidak condong menyalahkan salah satu kubu yang bisa mengakibatkan perpecahan. Selanjutnya, dengan langkah yang disebut 'moderat’ ini akan melahirkan sikap baru yaitu tasamuh/toleransi.

2. Tasamuh (mengumpulkan seluruh data)
Toleransi diartikan sebagai sikap menghargai serta menghormati pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Cara menumbuhkan sikap toleransi adalah dengan mencari tahu dan mengumpulkan argumentasi-argumentasi yang dimiliki oleh masing-masing pihak, memahami konteks masalah dan situasi. Caranya dapat diupayakan melalui penelitian, ruang diskusi bersama, dan lain-lain. Dalam taraf tertentu ini sangat membutuhkan kajian multidisipliner atau melibatkan banyak bidang ilmu. Seperti ilmu medis, ekonomi, sosial, politik dan lain-lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh KH. Abdurrahman Wahid: “semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin besar rasa toleransinya.”

Namun sikap menghargai bukan berarti dengan membenarkan semua paham yang berbeda. Maka menumbuhkan sikap toleransi yang benar juga harus dengan mempelajari pedoman-pedoman yang kita yakini agar tidak melewati batas-batas toleransi dan condong pada ekstrim liberalis. Oleh karena itulah, mengutip dari Gus Baha’ yakni “toleransi itu butuh ilmu”.

3. Tawazun (menimbang-nimbang)
Setelah mencari tahu semua alasan atau argumen di balik sikap masing-masing pihak, saatnya kita menimbang-nimbang dengan berbagai pertimbangan sebelum membuat keputusan. Diantara pertimbangan itu adalah: (a) Pertimbangan dalil. Apakah yang bersangkutan bertentangan dengan nash-nash qoth’i dan pedoman-pedoman lain yang diyakini kebenarannya?, (b) Pertimbangan situasi atau konteks. Bagaimana situasi masalahnya dan apa yang melatarbelakangi terjadinya hal tersebut?, (c) Pertimbangan dampak. Apa konsekuensi yang terjadi ketika hasil pertimbangan disampaikan ke yang bersangkutan?.

Terlihat mudah namun untuk melakukan ini perlu penguasaan ilmu yang matang tidak hanya ilmu-ilmu syariat seperti fiqih, ushul fiqih, qowaid fiqih, namun juga berbagai bidang ilmu lain seperti ilmu kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain tergantung kebutuhan masalah yang dihadapi. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam langkah sebelumnya.

4. Ta’adul (mengambil keputusan dengan adil)
Ta’adul disini, ketika diartikan dengan makna adil (menempatkan sesuatu sesuai tempatnya. Berbeda dengan i’tidal yang berarti tegak). Maka ia satu-satunya bentuk tindakan nyata yang bisa langsung dirasakan daripada 3 sikap sebelumnya. Ta’adul juga adalah sikap final atau manifestasi dari proses sikap di atasnya. Sikap moderat, toleransi dan penimbang tidak hanya dibuktikan dengan pengakuan namun juga bukti nyata yang diwujudkan dengan pengambilan sikap yang adil. Seseorang dapat dikatakan moderat (tawassut) apabila ia telah berlaku adil, seseorang dapat dikatakan toleransi (tasamuh) apabila telah berlaku adil, seseorang juga dapat dikatakan telah melakukan pertimbangan (tawazun) apabila telah berlaku adil. Maka ta’adul merupakan realisasi sikap.

Jujur pendekatan Aswaja dengan cara diatas  (menerapkannya sebagai langkah-langkah) pada awalnya sulit dilakukan, karena pemaknaan 4 prinsip aswaja yang berbeda-beda dalam banyak referensi. Bahkan KH Sa’id Aqil Siradj sendiri tidak sama dalam pemaknaannya. Kita dapat melihatnya dalam buku Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyah yang dibuat oleh Tim Aswaja PBNU. Disana beliau al-mukarrom menyebut 4 prinsip itu di 3 halaman yang berbeda dan masing-masing dimaknai secara berbeda-beda pula. Pertama, beliau menggabungkan makna tawazun dan taadul dengan 'menjaga keseimbangan’ (hal: v); kedua, beliau memaknai tawazun 'seimbang’ dan ta’adul 'netral’ (hal: vi); ketiga beliau tidak menggunakan kata ta’adul namun 'i’tidal’ yang berarti 'tegak’ sebagai pegangan dalam pengaplikasian tawassut (hal: 159). Selain itu dalam salah satu website dikatakan bahwa moderat adalah konsekuensi dari toleransi dan banyak lagi.

Upaya penulis disini bertujuan untuk mempermudah memahami cara pengaplikasian aswaja manhajul fikr, yang mana kajian terkait ini seakan telah mati dan berhenti. Padahal masih butuh dan perlu banyak tuangan pemikiran dari para kader lain agar pondasi Aswaja ini menjadi lebih kukuh, konkrit dan jelas penerapannya dalam setiap langkah gerak PMII, maksud tulisan ini tidak lain pula untuk meramaikan kembali diskusi aswaja yang semakin redup itu. 

Bagi sahabat PMII yang tertarik mendalami Aswaja Manhajul Fikr sangat-sangat disarankan untuk mengkhatamkan dua buku yang telah saya sebutkan dalam artikel ini sebagai pengantarnya. 
Semoga membantu 
Salam pergerakan!




Penulis : Ihsan Maulana Hamid (Pengurus Rayon Mata Langit Bidang Kajian dan Pendidikan, Komisariat Sunan Drajat, Cabang Lamongan)
Editor : Titis Khoiriyatus Sholihah
×
Berita Terbaru Update