Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Hilangnya Jati Diri Mahasiswa

Saturday, June 5, 2021 | 8:58 AM WIB Last Updated 2021-06-05T15:58:31Z


Karya : Siti Sarifa

PR As Shiddiq PMII Kom. UTM

Mahasiwa yang digadang-gadang memiliki 3 fungsi mulia terhadap sosial masyarakat, kini hilang jati dirinya ditelan globalisasi yang semakin pesat. Banyak kalangan mahasiswa yang salah paham, lupa, hingga tidak tahu esensi dari tri fungsi mahasiswa. Sebagaimana yang diperkenalkan dan dilafalkannya pada saat masa pengenalan atau ospek. Yang pertama, agent of change yaitu agen perubahan. Ada apa dengan mahasiswa? Mengapa harus difungsikan sebagai agen perubahan? Dan perubahan apakah yang kiranya diharapkan sebuah universitas bahkan negara terhadap seorang mahasiswa? Dalam pengertiannya yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah RI No. 30 tahun 1990 mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar di perguruan tinggi tertentu. Namun realitanya, makna seorang mahasiswa sangat luas. Jika kita kembali pada fungsi mahasiswa yang pertama yaitu sebagai agent of change, mahasiswa adalah peserta didik yang belajar di perguruan tinggi yang memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan suatu perubahan terhadap negara. Artinya, mahasiswa disini sebagai ujung tombak untuk mengukir sejarah peradaban. Kata “Maha” memiliki makna istimewa di antara peserta didik lainnya. Dengan kedalaman ilmu, ketajaman analisis, dan skeptisme yang berada dalam diri mahasiwa dirasa mampu memberikan perubahan terhadap negara. 

Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang positif, suatu revolusi sosial yang mengawal segala tindakan pro rakyat dan melawan segala kebijakan yang menindas masyarakat. Apakah saat ini mahasiswa benar benar membuktikan akan tanggung jawabnya sebagai agent of change? Ya. Secara tekstual kita bisa menyaksikan bagaimana eksistensi mahasiswa dengan membawa embel-embel aktivis. Bisa kita ambil contoh aksi demontrasi yang selalu identik dengan gerakan yang mampu membawa perubahan. Coba anda ketikkan dalam pecarian di google / tagar instagram / tagar twitter, ataupun media lainnya mengenai demonstrasi. Tentu banyak sekali wajah-wajah mahasiswa dengan ribuan bahkan jutaan viewers dan like tentang postingan mereka mulai dari menjadi orator, membawa perlengkapan demontrasi ataupun sekedar membawa spanduk. Tentu hal ini menunjukkan bahwa saat ini mahasiswa memiliki eksistensi yang tinggi dalam memperjuangkan hak-hak rakyat melalui gerakan demonstrasi. Pertanyaan saya adalah, benarkah aksi demonstrasi ini menandakan tercapainya makna perjuangan sesungguhnya dengan berlandaskan kemaslahatan rakyat? Benarkah aksi demonstrasi ribuan mahasiswa saat ini mencerminkan tindakan pro rakyat ataukah hanya sekedar mengisi postingan akun dan sebagai penggugur kewajiban secara tekstual? Realitanya adalah, tidak adanya konsistensi dalam mengawal beberapa kebijakan yang tidak pro rakyat ini. Demonstrasi yang dinilai sebagai gerakan perjuangan hanya selesai sampai tertandatangani selembar kertas diatas materai. Setiap kebijakan yang dikritisi oleh mahasiswa harusnya dikawal betul hingga tuntutan yang dibawa tuntas terpenuhi. Paling tidak, aksi tersebut harus menghasilkan keputusan pro rakyat yang benar benar direalisasi dan dinikmati secara nyata. Terkadang, beberapa oknum hanya memanfaatkan aksi demonstrasi untuk kepentingannya pribadi. Oknum disini bisa orang dari luar (eksternal)  aksi tersebut, bisa pula orang yang berada dalam (internal) aksi tersebut. Contoh orang diluar aksi tersebut adalah pihak yang merekayasa dengan sengaja membuat isu seakan aksi tersebut adalah murni dari, oleh, dan untuk rakyat namun dibalik itu aksi demonstrasi hanya dijadikan jembatan menuju kepentingan beberapa orang saja. Sedangkan yang dimaksud oknum yang berasal dari orang dalam aksi tersebut adalah pelaku yang berada dalam ruang lingkup aksi demonstrasi seperti korlap, orator, hingga massa aksi. Saya ambil contoh koordinator lapangan atau korlap yang biasanya dipilih adalah orang berpengaruh, mampu mengkordinir massa dan mengendalikan aksi demonstrasi. Jalannya suatu aksi berada di tangan korlap, dan hal inilah yang terkadang posisi korlap hanya dijadikan bahan eksistensi agar dilihat oleh teman-temannya, ataupun pihak yang didemo (misalkan para dewan). Pengaruh yang melekat pada seorang korlap mampu mencuri perhatian para dewan karena kegagahan dan keberaniannya menggiring massa. Namun, justru disitulah kelebihan sekaligus kelemahan seorang korlap. Dengan kuasa seorang dewan mampu mengambil hati koordinator lapangan dengan cara mendekatinya secara emosional, berbincang di warung kopi hingga dibayarkan segala makan dan minumnya di tempat-tempat mewah. Hal ini yang menyebabkan munculnya suatu kedekatan atau hutang budi  antara mahasiswa tersebut terhadap dewan. Siapa yang kiranya tidak ingin dipenuhi segala kebutuhannya? Makan minum sepuasnya di tempat mewah, difasilitasi beasiswa dan lain sebagainya. Sungguh, menterengnya harta yang ikut dinikmati mampu merongrong idealisme yang sebelumnya dimiliki mahasiswa. Kegagahan dan keberanian seorang pemuda bisa berubah menjadi luluh lantas seperti anak kucing yang dielus kepala dan lehernya alias manut akibat politik seperti ini. Lucunya adalah, ketika kita tahu bahwa hal tersebut menjadi ancaman bagi korlap justru posisi tersebut diidamkan karena keyamanan yang nantinya diperoleh. Begitupun dengan orator. Berteriak-teriak di atas mimbar menyuarakan keadilan, jangan sampai hanya dijadikan panggung eksistensi agar dilihat di media, teman-teman, adik tingkat, bahkan para dewan. Namun saat ditanyai mengenai apa alasan aksi tersebut dikaji dan dituntut justru tidak bisa menjawab atau tidak tahu. Seperti yang dikatakan oleh Tan Malaka, bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh mahasiswa. Begitupun harapan terhadap para mahasiswa saat ini harus memegang teguh idealisme dan independensinya. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan setiap mereka yang dikenal dalam mimbar demonstrasi menjadi sorotan bagi beberapa oknum yang memungkinkan menjadi alasan aksi demonstrasi dicukupkan sampai tertandatanginya lembar tuntutan. Salah satunya adalah perjanjian dibalik massa atau amplop dibawah meja. Apa maksudnya? Selamat merenungkan.

Aksi demonstrasi kini tidak menjamin tercapainya makna perjuangan yang digadang-gadang sebagai bukti mahasiswa sebagai agen perubahan. Lagi lagi, kita melihat realita yang ada bahwa isu aksi yang dibawa terlalu tebang pilih. Banyak sekali kebijakan-kebijakan ataupun tindakan tidak pro rakyat yang perlu diperhatikan oleh kalangan mahasiswa sebagai pionir penggerak dalam perubahan. Sayangnya, mahasiswa saat ini masih pilah pilih dalam menyikapinya. Perlu kita sadari, bahwa kepekaaan seorang mahasiswa tidak boleh pandang bulu jika benar-benar mengatasnamakan masyarakat. Dengan local wisdom yang ada, mahasiswa harus menyesuaikan diri dalam lingkungannya. Yang terjadi saat ini, banyak mahasiswa yang mengabaikan persoalan lokalnya. Alhasil, jika tidak ada isu yang keluar di permukaan, maka jarang sekali ada pembahasan mengenai kebijakan dan tindakan pemerintahan. Hal ini yang menyebabkan mengapa mahasiswa saat ini sangat mudah dihegemoni oleh oknum yang berkepentingan karena kurang pekanya terhadap realita sosial yang ada dan terlalu fokus pada isu yang sengaja dan/atau tidak sengaja dimunculkan. Salah satu penyebabnya, banyak mahasiswa yang hedonis jika dihadapkan dengan persoalan lokal. Salah satu contohnya adalah terlalu fokus pada urusan akademisnya. Karakter seperti ini biasanya mereka yang terlalu ambis terhadap nilai dan IPK tanpa menyadari bahwa sejatinya mahasiswa menanggung hidup jutaan rakyat ditangannya dengan harapan segala ilmu yang didapatkan mampu memberikan kemanfaatan terhadap rakyat dan bukan hanya kemanfaatan terhadap dirinya sendiri. Salah satu solusinya adalah mahasiswa saat ini harus perbanyak berinteraksi dengan masyarakat baik bagi mereka para aktivis, organisatoris, ataupun akademis. Mahasiswa tidak akan bisa menjadi penyambung lidah rakyat jika ia tidak menempatkan diri sebagai pendengar. Menampung setiap keluh kesah yang terjadi di dalam masyarakat, menjadikannya isu, mengkajinya ala mahasiswa, dan mengawalnya sampai tuntas menjadi solusi terbaik jika ingin merubah keadaan sosial yang ada. Perlu kita renungkan kembali apakah sejauh ini perjuangan kita benar-benar atas nama rakyat? Ataukah telah hilang jati diri kita mahasiswa sebagai agen perubahan karena terlalu sibuk memikirkan eksistensi semata dan kepentingan pribadi? Mari kita melihat sekeliling kita, belajar untuk peka terhadap realita sosial. Karena di tangan mahasiswa masa depan negara dipertaruhkan.  Mahasiswa perlu demonstrasi, namun jangan jadi aktivis musiman. Musim demo, musim tagar, dan musim-musim viral lainnya, misalkan. Sejatinya mahasiswa saat ini harus benar-benar bergerak atas nama kemaslahatan rakyat, mengkikis segala penindasan dan ketidakdilan dengan cara memperkuat idealisme dan independensi diri, jangan menjadi mahasiswa hedonis, perbanyak terjun langsung terhadap masyarakat, kaji setiap isu baik itu isu lokal, regional, ataupun nasional dan putuskan sebuah solusi.

×
Berita Terbaru Update