Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kritik media sosial sebagai suatu revolusi teknologi.

Tuesday, June 8, 2021 | 7:34 AM WIB Last Updated 2021-06-08T14:34:24Z

 


Media sosial memang menjadi suatu revolusi di bidang teknologi informasi atau media massa. Bagaimana tidak, dalam dekade pertama tahun 2000 media sosial masih menjadi sesuatu yang tidak diketahui dan cenderung primitif dari media massa yang menggunakan sistem komunikasi satu arah seperti televisi, koran, majalah atau sejenisnya. Namun, di dekade kedua media sosial menjadi media alternatif penyebar berita serta berkomunikasi antar individu maupun kelompok lainnya. Tentunya hal ini tak lepas dari dorongan negara adidaya yaitu Amerika Serikat yang membuat media sosial melakukan ekspansinya ke seluruh dunia seperti perusahaan koorporasi berbasis teknologi semacam Google, Facebook dan sebagainya. 

Ketika media sosial ini sudah digunakan secara masif dan berdampak ke mana-mana, namun makna media sosial ini belum tuntas didefinisikan. Media sosial memiliki posisi yang ambigu, antara sebagai ruang publik atau ruang privat, antara institusi sosial atau dikomodifikasi, antara mode komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok dan komunikasi massa, juga antara status sebagai media massa atau media alternatif.

Ambiguitas tersebut berdampak secara teratur. Mengenai perubahan sosial di masyarakat khususnya pengguna media sosial dan juga memiliki pengaruh terhadap etika berkomunikasi karena adanya ambiguitas antara mode komunikasi yang interpersonal, kelompok maupun massa. Dari ambiguitas tersebut menjadi sebuah situasi yang berkembang menjadi apa yang dinamakan nihilistik. Pengguna media sosial menjadi bingung antara bertutur atau diam karena keluwesan dalam berinteraksi atau berkomunikasi dua arah melalui platform digital seperti media sosial ini. “Dari apa yang disebut hebat tentulah diam atau bertutur.” Itulah yang disebut Nietzsche dalam kata pengantar The Will to Power  Media sosial menjelma sebagai ruang anarki karena tidak adanya etika dan standar hukum yang konkret untuk mengatur perilaku pengguna media sosial. Hal ini mengembalikan lagi kepada perilaku dewasa setiap pengguna media sosial. Justru malah sebaliknya, pengguna media sosial bertutur tanpa menggunakan kedewasaan, seperti lanjutan dari kata pengantar The Will to Power. Bertutur dengan keagungan — yang berarti dengan sinis dan kemurnian.  Dengan mengacu pada premis tersebut, pengguna media sosial melontarkan opini-opini atau argumen-argumen negatif tanpa peduli terhadap pengguna lain juga penuh kemurnian dalam artian bahwa opini atau argumen-argumen tersebut seolah itu kebenaran (kemurnian) mutlak dan tidak terbantahkan. Jelas bahwa memiliki kesan dogmatis atau menjatuhkan mungkin juga menyudutkan. 

Terkesan media sosial tidak lebih dari tong sampah yang tidak memiliki makna, wajar karena ambiguitas media sosial mengarah ke situasi nihilistik dan jelas bahwa menanggung konsekuensi nihilistik yang berarti kepercayaan terhadap nilai tidak bermakna sebagai konsekuensi dari penilaian moral. 

Media sosial ini menjadi salah satu dari entitas digital yang menurut Heidegger(1927) mempunyai fitur dasar being-in-the-digital-world. Mereka tidak hadir ada-disana, melainkan hadir di sini, hadir di tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Seperti itulah media sosial yang menawarkan kemudahan akses dalam komunikasi. 

HOAX atau berita bohong juga termasuk masalah yang krusial dan bisa menyebabkan distraksi antar individu maupun kelompok di dunia maya. Etika  berkomunikasi sangat penting untuk mencegah distraksi atau kekerasan verbal terlebih lagi mampu juga mencegah HOAX itu menjadi sumber kekacauan, ini menjadi pembahasan yang cukup menggelitik terkait komunikasi di media sosial dengan mencoba menautkan dengan pemikiran Jurgen Habermas. 

Media sosial yang memungkinkan semua pengguna menjadi subyek serta pelaku sumber komunikasi. Jika dikaitkan dengan pemikiran Habermas, media sosial menjadi ruang komunikasi antar individu yang bebas, terbuka dan tidak ada tekanan. Yang berinteraksi dengan yang lain akan saling termotivasikan untuk menerima komunikasi yang bebas dan terbuka, mengarah kepada saling kesepahaman.  

Namun ini tidak terjadi di media sosial, di manakah kesepahaman itu? Media sosial yang seharusnya memungkinkan semua pengguna menjadi subyek untuk menemukan kesepahaman menjadi saling menautkan saling ketidak sepahaman dan bermuara ke ujaran kebencian atau menyebarkan berita bohong untuk menjatuhkan elektabilitas satu sama lain. 

Media sosial seolah menjadi lumbung pertikaian antara beberapa orang atau bahkan memicu pertikaian di dunia nyata. Terlepas dari ketidakrelevansian pemikiran Habermas dalam media sosial, adanya gagal paham antara pengguna media sosial untuk membedakan antara mana yang benar mana yang tidak. Masyarakat dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran. Kredibilitas berita, pesan atau opini sering sudah tidak dipertanyakan lagi. Kebohongan menyelinap masuk melalui kebingungan orang dalam membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis. (Haryatmoko,2017)

Jika Melihat dari fenomena tersebut, kehilangan verifikasi dari pengguna media sosial terhadap berita, mengabaikan kebenaran dan mengikuti suara mayoritas menjadi sebuah tanda bahwa dunia sudah memasuki sebuah era yang dinamakan era pasca kebenaran atau post-truth. Post-truth digambarkan sebagai sebuah rentang era yang cenderung mengabaikan fakta dan kebenaran sedangkan hoaks bisa diartikan sebagai berita atau informasi palsu. Post-truth menurut Oxford Dictionaries diartikan sebagai istilah atau iklim yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif. 

Dalam prinsipnya, post-truth menolak adanya kebenaran universal. Post-truth juga dikaitkan dengan nihilisme, narsisme, skeptisisme dan post-modernisme. Lalu apa relevansinya dengan jurnal yang direview? Hoaks adalah anak kandung dari post-truth (Haryatmoko,2017; Ulya,2018) di sana letak relevansinya. 

Pengguna sosial media cenderung mengikuti kebenaran mayoritas daripada mencari kebenaran atau memverifikasi sebuah berita. Di era post-truth ditandai dengan kegagalan pers dalam arti jurnalistik untuk memberikan berita atau menyuguhkan kebenaran karena setiap individu mampu menjadi jurnalis dan menjadi sumber berita. Dengan kata lain bahwa setiap individu memiliki kebenaran masing-masing. Lalu, adakah cara untuk melawannya? Adakah sesuatu yang menandinginya? Atau perlukah kembali ke era di mana sosial media belum ada? Adanya media sosial sebagai anak kandung revolusi digital menjadi sebuah sejarah hebat umat manusia, mau tak mau manusia harus merasakannya, menikmatinya serta menggunakannya. Lagi pula, media sosial adalah bagian dari sejarah panjang peradaban dan manusia yang notabene pencipta media sosial juga bagian dari peradaban. Dunia semakin hari semakin berubah, entah menuju keburukan atau kebaikan. Kebenaran akan masa depan masih abstrak, tidak menutup kemungkinan pula media sosial menjadi sesuatu yang bernilai positif bagi manusia. Perlahan tapi pasti, manusia mulai semakin bijak dalam menggunakan media sosial, karena bijak adalah puncak tertinggi dari baik-buruk dan benar-salah. 


×
Berita Terbaru Update