Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

PERAN PMII TERHADAP KEBANGKITAN SPIRITUALISME MASYARAKAT MODERN

Sunday, June 20, 2021 | 4:36 AM WIB Last Updated 2021-06-20T11:36:18Z

 




Oleh :Muhammad Alwi Hasan

Semakin modern masyarakat maka seharusnya agama semakin di tinggalkan. Begitulah pernyataan Auguste Comte salah satu filsuf prancis yang di kenal karena memperkenalkan bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Namun, kenyataannya pendapat ini tidak sepenuhnya benar, sebab semakin modern nya masyarakat justru semakin haus akan nilai – nilai spiritualitas bagi diri mereka. Ini terbukti dengan banyaknya gerakan spiritual baik itu berupa pelatihan maupun kursus. 

` Menjamurnya kegiatan-kegiatan bernuansa spiritual dewasa ini bukanlah semata-mata timbul dengan sendirinya. Antusias masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan, untuk mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan aspek spiritualitas, memang sangat tinggi. Seperti puluhan ribu orang yang mengikuti pelatihan ESQ di pelopori oleh Ary Ginanjar Agustian, pelatihan Sholat Khusyuk oleh Abu Sangkan, wisata hati ala Ustadz Yusuf Mansur, Manajemen Qolbu Abdullah Gymnastiar atau pelatihan spiritual yang digelar Anand Krisna, dan masih banyak lagi.

Fenomena ini timbul tidak lain disebabkan oleh konstruksi modernitas. Paradigma modernitas yang menawarkan segenap kemewahan dan kemudahan hidup ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia yang paling esensial. Dalam gemerlap dan pesona material, manusia modern justru kehilangan aspek fundamental dalam hidupnya yaitu aspek spiritualitas. Jika ditelisik lebih jauh, memang timbulnya gerakan spiritualisme di kalangan masyarakat modern bisa jadi didorong oleh faktor perubahan-perubahan sosial ekonomi politik dalam skala masif. Implikasinya, timbul berbagai persoalan mendasar kemanusiaan, seperti disrupsi, disorientasi, atau dislokasi psikologis dalam kalangan masyarakat tertentu. Selain itu, kemunculan gerakan spiritual juga timbul diakibatkan oleh ketidakpuasan terhadap paham, gerakan, maupun organisasi keagamaan. Kebangkitan spiritualitas di tengah arus modernitas ini memang sudah diprediksi jauh hari oleh salah seorang filsuf dan psikolog berkebangsaan Amerika Serikat bernama William James, pada tahun 1904. Ia memberikan pernyataan dalam buku yang judulnya “The Varieties of Religious Experience” 

 “... meski “sains” boleh jadi akan melakukan apa saja yang melawan kecenderungan ini, manusia akan terus bersembahyang sampai akhir masa...”

Pernyataan William James ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa fenomena banjirnya spiritualitas di era modern memang sudah tak terbendung lagi.

Kemajuan sains dan menguatnya cara hidup sekuler di kalangan masyarakat modern menyebabkan nestapa tersendiri. Semua kemewahan, kemajuan teknologi, kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari, dan kuatnya arus kapitalisme yang menjadikan sisi kehidupan manusia sekarang ini berada dalam kendali imaginasi konsumtif, bahkan  menggiring masyarakat modern semakin teralienasi. Secara umum, alienasi bermakna keterasingan seseorang dari dirinya sendiri. Sebagian para ahli juga mengemukakan bahwa alienasi adalah sebuah bentuk ketidakmampuan, isolasi, ketidakberanian, ketiadaan norma-norma dan keterasingan diri. William Byron membagi alienasi menjadi empat bagian. Diantaranya ialah teralienasi dari Tuhan (alienasi teologis), teralienasi dari diri (alienasi psikologis), teralienasi dari masyarakat (alienasi sosiologis), serta teralienasi dari perkerjaan dan alam (alienasi terknologis). 

Haidar Bagir memberikan pernyataan menarik yang berkaitan dengan menguatnya spiritualitas masyarakat modern, melalui buku karangannya yang berjudul “Islam Tuhan Islam Manusia Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau”, spiritualitas masyarakat modern justru timbul dari lahirnya ekses-ekses yang dibawa oleh sains (dan teknologi) serta cara hidup sekuler yang dianggap sebagai “pembunuh” agama itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gilles Kepel, sekularisme telah menimbulkan perasaan kecewa yang mengakibatkan fragmentasi masyarakat, kohesi sosial, pudarnya kesetiaan pada nilai-nilai, kehampaan konsumerisme dan materialisme, melemahnya institusi keluarga, dan ekses-ekses lainnya. Terjadinya ekses-ekses dalam kehidupan masyarakat modern  justru membuat mereka mencari apa yang disebut dengan sumber-sumber baru identitas, bentuk-bentuk baru masyarakat yang stabil, dan perangkat-perangkat moral baru untuk memberikan-kembali kepada mereka makna dan tujuan hidup.

Gejala kebangkitan spiritualisme memang patut disyukuri. Aspek positif yang dapat diambil adalah kedamain dan kerukunan sebagai nilai dari spiritualitas itu sendiri. Namun, gejala kebangkitan agama ini juga melahirkan apa yang bahkan oleh sebagian penganut agama sendiri dipandang sebagai “anak haram” agama. Itulah yang disebut fundamentalisme dan radikalisme agama. Kebingungan dan disorientasi akibat ekses-ekses kehidupan sekuler dan sudah terlanjur kelelahan ini, ditengarai sebagai faktor para penganut agama terbius oleh guru-guru yang membawa paham-paham keyakinan yang bersifat fundamentalistik, integristik-total, dan yang mengklaim diri sebagai satu-satunya (sumber) kebenaran. Orang-orang model seperti ini bukan saja mengklaim bahwa paham mereka pasti benar, bahkan lebih jauh memastikan selainnya pasti salah dan membawa penganutnya jauh dari keselamatan dunia akhirat. 

Melihat gejala fundamentalisme dan radikalisme sebagai akibat dari bangkitnya spiritualitas masyarakat modern, PMII seharusnya mampu memberikan kontribusi lebih agar paham tersebut tidak mengakar luas di tengah-tengah spiritualistas manusia modern. Sebagai organisasi kepemudaan yang sejak awal berdirinya mendeklarasikan diri menganut ideologi “Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja)”, PMII memiliki formulasi-formulasi yang terbingkai dalam rumusan (4T) – Tawasuth (moderat), Tawazun (seimbang), Ta’adul (adil), dan Tasamuh (moderat). Jika kita cermati memang rumusan di atas merupakan sebuah sublimasi dari doktrin-doktrin ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (Islam), dan akhlak (ihsan). Keempat prinsip tersebut bisa menjadi antidote (lawan) fundamentalisme dan radikalisme keagamaan, seperti konsep tawazun misalnya, yang memiliki arti berimbang dan harmonis dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawazun menghindari sikap ekstrimis (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri, yang melahirkan liberalisme dalam pengalaman agama (Nur, 2016). Sikap tawazun ini didasarkan pada firman Allah, (QS. Alhadid: 25): 

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” 

Selain keempat prinsip tersebut, doktrin keihsanan yang termasuk dalam garis-garis besar doktrin ASWAJA cocok untuk di terapkan pada manusia modern yang tengah menggebu-gebu hasrat spiritualnya. Tasawuf yang merupakan sebuah manhaj spiritual dan manifestasi dari doktrin keihsanan, mampu meredam gerakan fundamendalisme dan radikalisme karena tasawuf mampu mewakili aspek spiritual (kerohanian) dan cinta. Haidar Bagir mengatakan: 

“Dengan segala sifatnya yang menawarkan ketentraman psikologis kerena berbagai amalan yang mendekatkan orang pada Tuhan, teknik-teknik untuk dapat meraih kebahagiaan duniawi, dan rasa keamanan dari prospek kesengsaraan dalam kehidupan akhirat, kiranya tasawuf akan bisa menjadi pesaing yang tangguh terhadap kecenderungan fundamentalisme dan radikalisme keagaamaan (Bagir, 2017, p. 229).” 

Mengingat Tasawuf yang memiliki kelebihan dalam sifatnya mempromosikan cinta, kedamaian, dan kerja sama, bukan benci dan pertentangan yang saling memusnahkan. 

Kebangkitan spiritual di kalangan masyarakat modern memang bisa menjadi ruang tersendiri bagi PMII untuk mencegah gerakan fundamentalisme, sekaligus dapat mengembalikan fungsi agama sebagai sebuah lembaga yang mendukung perkembangan peradaban manusia yang maju, adil, damai, dan sejahtera. Dan juga, euforia spiritual masyarakat modern yang sekarang terjadi tidak semata-mata hanya dijadikan pelarian psikologis, obsesi dan kebutuhan ruhaniah sesaat.

Doktrin tasawuf yang kental dengan mistisisme memang menjadi daya tarik tersendiri bagi penganut agama masa sekarang. Karena dengan bertasawuf kita akan menemukan makna dari spiritual (kerohanian) itu sendiri. Sehingga mangetahui orientasi spiritualitas yang di gelutinya, rujukan agamanya, dan relasinya dengan Tuhan. 

×
Berita Terbaru Update