Oleh: Kurnia Asyahari Meilya Putri (Kopri Rayon Syariah UIN STS Jambi)
Radikalisme adalah hal yang mengancam
generasi millenial. Sebagaimana kita ketahui, generasi millenial sedang berada pada
masa muda, yakni masa berjalannya proses pencarian identitas dan jati diri. Generasi
millenial seringkali menjadi sasaran radikalisme karena situasi ini.
Generasi
milenial tumbuh pada zaman perkembangan teknologi dan informasi yang begitu
cepat. Pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini jangan
sampai terarah ke hal-hal negatif dan destruktif, yang mendorong perilaku
kontraproduktif terhadap integrasi nasional seperti sikap radikal. Sikap
radikal dalam dunia akademik dibutuhkan untuk mengkritik teks atau materi,
tetapi sikap ini menjadi masalah apabila bertujuan mengubah hal yang
sifatnya fundamental seperti dasar negara.
Radikalisme
dalam kehidupan sehari-hari dapat dengan mudah diketahui ciri-cirinya: menganggap bahwa pandangannya yang paling benar,
sedangkan pandangan yang berbeda dengan dirinya itu salah (fanatik), tidak mau
menerima perbedaan dan keyakinan orang lain (intoleran), menghendaki adanya
perubahan secara cepat dan drastis dengan cara kekerasan (terorisme), serta cenderung
untuk memisahkan dan membedakan diri dengan kelompok masyarakat tertentu
(ekskusif).
Generasi
millenial yang berada dalam masa transisi krisis identitas rentan mengalami apa
yang disebut oleh Quintan Wiktorowicz (2005) sebagai cognitive opening (pembukaan ruang kongnitif), yakni proses mikro-sosiologis
yang mendekatkan generasi muda pada penerimaan terhadap aspek gagasan baru yang
lebih radikal. Generasi muda mudah terpengaruh dengan hal-hal yang memancing
konflik seperti keberadaan hoaks, berita provokasi, dan caci-maki di dunia
virtual. Oleh karena itu, penumbuhan nalar kritis, peningkatan literasi
digital, dan optimalisasi patroli siber perlu dimaksimalkan guna menghindarkan generasi
millenial dari doktrin radikalisme.