Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

RUU PKS Sebagai Payung Hukum dalam Memanusiakan Manusia

Sunday, August 1, 2021 | 5:57 AM WIB Last Updated 2021-08-01T12:57:27Z


Penulis : Utari Nelviandi, SH.

RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual) adalah Rancangan undang-undang yang mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual. RUU PKS dibentuk karena makin tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun. Hal ini sangat memprihatinkan, tidak adanya payung hukum yang pasti, aturan yang komprehensif untuk melindungi korban dari berbagai tindakan yang tidak manusiawi. Tujuan dari pembentukan RUU PKS ini tentunya menuntut negara agar lebih serius dalam menangani berbagai kasus kekerasan seksual, menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak hanya sekedar dalam bentuk langsung atau fisik, namun sering dengan berkembangnya zaman teknologi masyarakat telah banyak mengenal tentang ujaran-ujaran pelecehan yang bisa dilayangkan dalam dunia maya, dalam hal ini sering kali terjadi komentar pelecehan di platform media sosial.

Secara keseluruhan sistem hukum yang ada belum secara komprehensif memberikan jaminan penghapusan kekerasan seksual mencangkup aspek pencegahan, perlindungan, pemulihan dan pemberdayaan korban. Peraturan yang ada tentunya hanya melihat jika kasus tersebut telah meresahkan kenyaman dan ketertiban masyarakat secara luas, tidak berfokus pada penderitaan baik fisik ataupun psikis yang dialami korban. Adapun korban dari tindakan kekerasan seksual bukan hanya terjadi pada orang dewasa, tapi juga terjadi pada anak-anak dibawah umur. 

Hal ini telah membuktikan bahwa kekerasan seksual adalah ancaman nyata bagi kehidupan masyarakat yang tidak dapat dianggap remeh. Baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa mereka semua berpotensi mengalami kerentanan atas ancaman kekerasan seksual. Sekelumit masalah tersebut merupakan urgensi kenapa RUU PKS harus segera disahkan, karena pada dasarnya RUU PKS tidak semata-mata mengatur terkait ancaman pidana, tetapi juga hal lain yang mendukung dan melindungi korban selama menjalani proses hukum.

Menurut Catatan Tahunan (2021) dari Komnas Perempuan bahwa Sebanyak 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang dapat dicatatkan pada tahun 2020, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Hal ini dikarenakan kuesioner yang kembali menurun hampir 100% dari tahun sebelumnya. Pada tahun sebelumnya jumlah pengembalian kuesioner sejumlah 239 lembaga, sedangkan tahun ini hanya 120 lembaga. Namun sebanyak 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020.

Tahun 2020 meskipun tercatat terjadi penurunan pengaduan korban ke berbagai Lembaga layanan di masa pandemik COVID 19 dengan sejumlah kendala sistem dan pembatasan sosial, Komnas Perempuan justru menerima kenaikan pengaduan langsung yaitu sebesar 2.389 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 1.419 kasus, atau terdapat peningkatan pengaduan 970 kasus (40%) di tahun 2020, hai ini disebabkan Komnas Perempuan menyediakan media pengaduan online melalui google form pengaduan.

Catatan Tahunan (2021) Komnas Perempuan juga menjelaskan pada masa Pandemi, perempuan dengan kerentanan berlapis juga menghadapi beragam kekerasan dan diskriminasi. Kasus kekerasan seksual masih mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan. Terdapat 42% dari 77 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas merupakan kasus kekerasan seksual dan hampir seluruh dari 203 perempuan dengan HIV/ AIDS yang melaporkan kasusnya mengalami Kekerasan seksual, selain kasus kekerasan, dilaporkan juga kasus diskriminasi dalam layanan publik, termasuk dalam mengakses bantuan di masa pandemik COVID 19.

Melihat data diatas dapat dikatakan bahwa kondisi kaum perempuan masih sangat rentan menjadi korban berbagai jenis tindakan kekerasan. Terlebih lagi, pada zaman modern tingkat kekerasan justru semakin tinggi dan banyak orang yang menganggap bahwa kasus tersebut merupakan hal biasa, perempuan sebagai makhluk yang seharusnya diharga dan dilindungi, justru menjadi objek dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekatnya.

Menurut Michael Kaufman seorang aktivis di Kanada yang memimpin kampanye “Pita Putih”, mengungkapkan faktor-faktor dibalik kekerasan terhadap perempuan, dengan merujuk kepada apa yang ia sebut sebagai malapetaka (kekuasaan yang dimiliki oleh laki-laki mejadi malapetaka bagi dirinya sendiri) dan amunisi di dalamnya. Sedikitnya ada tiga faktor berkaitan yang merupakan amunisi laki-laki dalam memperlihatkan kekuasaan dan otoritasnya, yaitu (a) kekuasaan Patriarki (patriarki power), (b) hak-hak istimewa (privilege), (c) sikap yang permisif (permission). Maka dari itu perempuan sudah mendapatkan stereotype dan sudah dianggap rendah dan lemah sejak dari dulu, hal inilah pemicu dari segala tindakan yang tidak manusiawi tersebut.

Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi salah satu payung hukum untuk meminimalisir berbagai perbuatan yang tidak manusiawi tersebut. Dalam penyusunan RUU PKS telah mencantumkan asas-asas yang diusung untuk menjadi dasar dari RUU tersebut, yakni: (pertama), penghapusan atas harkat dan martabat manusia, (kedua) non diskriminasi, (ketiga) kepentingan terbaik bagi korban, (keempat) keadilan, (kelima) kemanfaatan dan (keenam) kepastian hukum.

Ruang lingkup dari RUU PKS meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban dan penindakan pelaku. Hal ini terdapat dalam pasal 4 ayat 1 dan merupakan kewajiban negara. Situasi semakin darurat dari adanya tindakan kekerasan seksual di Indonesia namun sayangnya hal ini belum tertangani secara optimal sehingga menempatkan Indonesia dalam situasi Kekerasan Seksual. RUU PKS ini sudah dirancang sejak lama mulai dari tahun 2012 hingga saat ini, masuk ke daftar prolegnas, tapi pada akhirnya kembali di keluarkan dan hingga saat ini RUU PKS belum juga disahkan.

 Menurut guru besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Nina Nurmila membeberkan bahwa penolakan dari RUU PKS berasal dari kelompok-kelompok konservatif yang tentunya menggunakan media sosial untuk menyebarkan hoax seputar rancangan ini. Kelompok-kelompok tersebut juga menentang kesetaraan dan keadilan gender, hal ini terlihat jelas ketika mereka menunjukkan diri sebagai oposisi dari RUU PKS.

Pada dasarnya kehadiran RUU PKS sejatinya merupakan sesuatu yang sangat revolusioner. Dalam ajaran kemanusiaan yang paling mendasar adalah tentang keharusan menghargai sesama manusia, setiap orang memiliki hak untuk dilindungi dan dihormati, kita manusia pada dasarnya dihadapan Tuhan itu sama sebagai hamba, hanya keimanan dan ketaqwaan penentunya.


Salam Pergerakan

Salam Kesetaraan 

Editor : Nurman Fajri


×
Berita Terbaru Update