Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Perjuangan Sultan Thaha Saifuddin Dalam Menentang Kolonial Belanda Jambi

Monday, November 13, 2023 | 5:16 AM WIB Last Updated 2023-11-13T13:16:02Z



Indonesia merupakan negara yang kaya akan penghasilan perekonomiannya, baik berasal dari laut maupun dari daratan. Oleh sebab itu, Indonesia cukup lama dijajah oleh kolonial Belanda, berkisar lebih kurang 350 tahun atau tiga setengah abad dengan motif ekonomi dan petualangan. Pada pertengahan abad ke-17, Belanda menanamkan dasar-dasar kekuasaannya di Sumatera. Pada tahun 1665, Belanda berhasil mendapat pangkalan dibeberapa daerah yang ada di Sumatera (Soekmono, 1973). Meskipun Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda sangat lama, tetapi para pejuang Indonesia tidak pernah berhenti untuk memperjuangkan Indonesia supaya merdeka. Mereka yang berjuang tidak mengharap dihargai atau dijuluki sebagai pahlawan karena mereka ikhlas berjuang, baik dimedan perang maupun medan politik. Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda tidak hanya di satu daerah saja tetapi hampir seluruh daerah yang terdapat di Indonesia termasuk daerah Jambi.

Daerah Jambi mempunyai semboyan “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, Batangnyo Alam Rajo” bahwa wilayah kesultanan Jambi dahulu meliputi 9 buah Lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai (batang). (Warsito Adnan, 2005) Masing-masing bernama:
1. Batang Asai
2. Batang Merangin
3. Batang Masurai
4. Batang Tabir
5. Batang Senamat 
6. Batang Jujuhan 
7. Batang Bungo 
8. Batang Tebo dan 
9. Batang Tembesi.

Sultan Thaha Saifuddin merupakan Sultan Kerajaan Melayu Jambi yang juga merupakan keturunan bangsawan. Saat Sultan Thaha Saifuddin naik tahta, ia membatalkan dengan spontan semua perjanjian dengan Belanda yang hanya menguntungkan pihak Belanda (Mirnawati, 2012). Hal tersebut membuat pihak Belanda sendiri menyatakan bahwa peperangan dengan Sultan Thaha Saifuddin adalah peperangan Yang tidak mengenal kata damai.

Sultan Thaha Saifuddin dari garis keturunannya Sultan Thaha Saifuddin merupakan anak dari Sultan Muhammad Fachruddin yang bila di teliti ke atas silsilahnya bermoyangkan orang kayo hitam, anak Ahmad Salim dengan gelar Datuk Paduko Berhalo dengan Putri Selaras Pinang Masak. Sultan Thaha Saifuddin lahir dilingkungan Istana Tanah Pilih Kampung Gedang di kerajaan Jambi tahun 1816 M (Zuraima Bustaman, 1996).

Ketika Sultan Thaha Saifuddin masih kecil dia diberi nama Raden Thaha Ningrat, dia dibesarkan dan dididik di lingkungan istana serta dipersiapkan menjadi seorang pemimpin. Jadi, sejak kecil Raden Thaha Ningrat sudah memiliki keberanian dan jiwa seorang pemimpin. Dalam mengambil keputusan, ia tidak memerintah sewenang-wenangnya tapi memperhatikan nasehat bawahannya. Raden Thaha Saifuddin juga cerdas dan pandai mengatur strategi dalam melawan Belanda. Selama perjalanan hidup dan perjuangannya melawan Belanda, Raden Thaha Saifuddin sering mengunjungi dusun-dusun, memberi ceramah dan khotbah jum’at.

Melalui khotbah jum’at itulah Raden Thaha Saifuddin menambah semangat juang serta keimanan kepada rakyat. Rakyatnya dengan ikhlas turut serta melawan Belanda dan membangun benteng-benteng pertahanan. Disinilah letak kekuatan/pertahanan sesungguhnya Pasukan Raden Thaha Saifuddin.

Pada tahun 1834 M, Raden Thaha meninggalkan daerah Jambi menuju Aceh guna menambah pengetahuannya dalam ilmu-ilmu keagamaan dan pengetahuan umum, diantaranya belajar politik dan militer, karena saat itu Aceh marupakan  daerah di Indonesia yang kuat berpegang teguh kepada agama Islam di samping daerah Minangkabau dan Banten. Selain itu, Aceh juga merupakan Negara yang menggunakan sistem politik dan militer yang sangat bagus.

Kembalinya Raden Thaha Saifuddin dari Aceh, ia mengadakan hubungan dengan luar negeri yaitu negara-negara yang bersedia menjual hasil industri perangnya. Selain itu, Raden Thaha juga berhasil membentuk pasukan Sabilillah yang dilatih oleh pelatih-pelatih dari Aceh. Dalam hal ini, Raden Thaha menerapkan ilmu-ilmu politik dan militer yang ia dapatkan dari Aceh sehingga terbentuklah “Pasukan Komando”. Di Aceh, Raden Thaha tinggal selama dua tahun dan ketika ia hendak pulang ke Jambi, oleh Sultan Aceh diadakanlah upacara pelepasan yang ditandai dengan pemberian gelar “Saifuddin” yang artinya “Pedang Agama (Junaidi T. Noor, 2007).



Penulis : M Rizki Alqori (Kader PMII UIN Jambi)
Editor : Titis Khoiriyatus Sholihah
×
Berita Terbaru Update