Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Membangun Kaderisasi Pmii yang Inklusif, Solutif dan Inovatif di Tingkat Dasar Rayon

Sunday, June 30, 2024 | 4:11 AM WIB Last Updated 2024-06-30T11:11:07Z



Berangkat dari kaderisasi di tingkat rayon bermaksud untuk upgrade to skill hingga menjadi seorang yang berpendidikan. Makna daripada kaderisasi merupakan upaya organisasi untuk mengaktualisasikan potensi seseorang yang mana selaras dengan ideologi, termasuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan melalui proses pengembangan dan penyiapan anggota untuk mengemban peran dan tanggung jawab tertentu dalam suatu organisasi yang nantinya menjadi seorang kader yang terdidik sebagaimana norma yang ada. Proses ini melibatkan pemahaman nilai-nilai, tujuan, dan tugas organisasi, serta pembekalan keterampilan dan pengetahuan. Kaderisasi merupakan hal yang substansial dalam organisasi manapun, termasuk di dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sendiri. Kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang dapat mempertahankan sekaligus melanjutkan eksistensi organisasi. Maka kaderisasi dituntut mampu memformulasikan sistem pengkaderan yang inklusif, solutif, dan juga inovatif guna mendukung arah gerak organisasi dalam mempertahankan eksistensinya dalam menjawab kompleksnya tantangan perkembangan zaman. Kendati demikian, semua yang terkandung didalamnya senantiasa tetap eksis dan tidak hilang terkikis oleh zaman. 

Kaderisasi PMII pada hakekatnya adalah totalitas upaya-upaya yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan untuk membina dan mengomparasikan pemaknaan "dzikir, fikir dan amal shaleh". Dalam tubuh PMII sendiri terdapat tiga sistem pengkaderan yakni formal, non formal, dan informal dimana ketiganya harus saling menopang dan mendukung antar sesama, sederhananya dari trilogi tersebut harus dilaksanakan secara masif dan _continue_ tanpa meninggalkan salah satu diantaranya.

Lebih lanjut, pengkaderan formal merupakan kaderisasi yang wajib diikuti oleh setiap insan pergerakan yang didalamnya berisi pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara bertahap yakni MAPABA, PKD, dan PKL sampai dengan PKN. Pengkaderan informal dilaksanakan setelah kaderisasi formal, tujuannya adalah menguji kader dan membiasakan kader dengan misi, tugas, tanggung jawab, dan suasana keseharian organisasi yang berfungsi untuk mempratikkan apa yang didapat dari kaderisasi formal sekaligus memperbanyak pengalaman untuk mengikuti jenjang pengkaderan selanjutnya, Sebagaimana contoh: mengajak kader atau anggota untuk diskusi, kajian, ngopi santai, juga memberi tugas seperti mencari informasi dan menulis essay. Kemudian pengkaderan Non Formal adalah pengkaderan yang dilakukan bersamaan dengan pengkaderan Informal yang bertujuan untuk membekali kader dengan pengetahuan dan keterampilan yang spesifik yang dibutuhkan dalam aktivitas ke-organisasian, kehidupan kampus, atau yang dinilai strategis bagi pergerakan maupun pengembangan diri kader dimasa mendatang yang nantinya berfungsi untuk memudahkan distribusi kader di ruang-ruang strategis di luar PMII. Ragam pengkaderan Non Formal meliputi kursus, pelatihan, dan juga seminar.

Mengutip dari buku Multi-Level Strategy bahwasannya proses pengkaderan yang baik selalu berangkat dari kenyataan sebuah zaman dan selalu mengarah kepada tujuan organisasi. Sehingga kader yang telah di didik oleh organisasi mampu memahami keadaan zamannya, mampu mengambil pelajaran dan mampu mengambil posisi gerak sesuai dengan tujuan organisasi. Begitupun juga dengan kaderisasi yang ada di Rayon yang notabene adalah tingkat paling dasar dalam kepengurusan PMII, dimana konstruk berpikir, sikap, moral, mental dan keyakinan terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung di PMII mulai dibentuk saat kader berproses di rayon, ditambah lagi yang menjadi fokus utama adalah kaderisasi. Maka diperlukan upaya untuk membangun sebuah sistem dan konsep kaderisasi yang inklusif, solutif dan inovatif dalam artian mampu menciptakan iklim kaderisasi yang kondusif juga memadai sehingga kader yang berproses di PMII bisa maksimal, mampu dilakukan secara intens juga menyeluruh dan tanpa pandang bulu, menjawab apa yang menjadi kebutuhan kader hari ini sekaligus juga mampu memberikan terobosan-terobosan baru dalam menghadapi tantangan yang dialami kaderisasi.
 
Melihat realitas hari ini, tantangan pengkaderan PMII ditingkat rayon tidaklah unik kalau bisa dibilang “ya itu-itu saja” problematikanya. Sebatas kuantitas dan kurang militannya kader. Hal sedemikian itu yang sering di kambing hitamkan ketika gerak rayon mengalami kendala, padahal yang harusnya di persoalkan adalah kecacatan kaderisasi yang tidak mampu membangun kaderisasi yang inklusif, solutif dan inovatif. Fakta tersebut harusnya menjadi refleksi bersama dalam menanggapi tantangan kaderisasi rayon hari ini. Artinya kurang maksimalnya kaderisasi dikarenakan sistem dan konsep kaderisasi yang dilakukan kurang relevan dan terkesan monoton.

Membangun kaderisasi yang inklusif solutif dan inovatif. Pertama, yang diperlukan ialah pembacaan yang tajam terhadap kondisi lingkungan rayon secara menyeluruh, baik kondisi kepengurusan maupun pengkaderan. Sebab, lingkungan sangat amatlah besar pengaruhnya terhadap iklim kaderisasi. Lingkungan yang sehat dalam artian kondusif, aman, nyaman jauh dari konflik baik eksternal maupun internal organisasi sendiri akan memberikan dampak positif yakni mempermudah jalannya kaderisasi. Sehingga langkah pertama yang dilakukan adalah menciptakan lingkungan organisasi yang baik. Selanjutnya baru menyoal kondisi individu kader mulai dari memahami karakter mereka, memahami kebutuhan dan keinginan mereka dan memetakan minat dan bakat mereka. Sebuah keniscayaan setiap individu kader berbeda karakternya ada yang sanguinis, melankolis, koleris, dan plegmatis. Karakter yang berbeda tanggapan yang dilakukan mestilah berbeda pula. Sama dengan karakter setiap individu kader juga memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda maka dari itu kaderisasi dituntut untuk mampu memahami sekaligus memenuhi kebutuhan setiap individu, kemudian memetakan minat dan bakat kader, ada kader yang keras kepala, ada yang kalem, ada yang ekstrovert ada yang introvert, ada yang optimistis ada yang pemalu, begitupun tidak semua kader suka nongkrong ada yang lebih suka ngopi di rumah, ada yang bakatnya menulis tetapi kurang dalam public speaking begitupun sebaliknya ada yang hobi olahraga ada yang hobi masak dan sebagainya itu harus mampu di fahami dan di petakan oleh kaderisasi. 

Kedua, merumuskan paradigma yang jelas sebagai dasar pijakan dalam merumuskan suatu konsep maupun metode kaderisasi supaya nantinya kaderisasi dapat terarah dengan baik sesuai dengan apa yang menjadi tujuan utama dalam kaderisasi. Paradigma secara sederhananya adalah kerangka berpikir, yang dalam PMII dikatakan Multi Level Strategi sebagai prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah dan medang juang. Sederhananya paradigma ini akan menjadi acuan dan sebagai peta dalam membangun sistem dan konsep kaderisasi, paradigma yang dirumuskan harus berbasis realitas, maka dari itu perlu adanya pemahaman dan pembacaan yang tepat terhadap kondisi realitas kader seperti yang telah disebutkan diatas, mulai dari karakter, kebutuhan, keinginan, minat dan bakat kader. Kondisi-kondisi tersebut berpengaruh besar terhadap proses kader, sekaligus menjawab pertanyaan kurang masifnya kaderisasi di tingkat rayon dikarenakan setiap Individu kader berbeda, tentu harus berbeda pula sistem dan konsep kaderisasi di rayon. Maka, paradigma akan sangat berperan penting dalam kaderisasi, terlepas banyaknya perbedaan individu kader, paradigma akan membuat kaderisasi tetap dalam alurnya.

Ketiga, menciptakan rekayasa sosial sebagai aktualisasi dari paradigma yang telah dibangun. Langkah taktis ini membuat lingkungan rayon yang sesuai dengan karakter, keinginan, kebutuhan, minat dan bakat kader. Suatu budaya yang membuat kader seakan-akan merasa hidup di dunianya dan nantinya berproses atas keinginannya sendiri sehingga hasil dari proses yang di dapat lebih maksimal dan secara tidak langsung dapat menjawab masalah kuantitas dan kurang militannya kader. Out put dari paradigma berbasis realitas dan rekayasa sosial inilah yang akan menjadikan kaderisasi inklusif, solutif, dan inovatif. 

Mengutip apa yang dikatakan steven covey seorang penulis dari Amerika “Saya pribadi yakin bahwa seseorang bisa menjadi katalisator perubahan, seorang pengubah dalam situasi apapun dalam organisasi manapun. Individu seperti itu adalah ragi yang dapat mengembangkan seluruh roti. Diperlukan visi, prakarsa, kesabaran, rasa hormat, ketekunan, keberanian dan keyakinan untuk menjadi seorang pengubah". 

Terakhir, sebagai pesan penutup. Kiranya dengan ikhtiar yang dilakukan atas dasar kesadaran dan tanggung jawab bersama terhadap keberlangsungan organisasi itulah yang nantinya bisa memacu sepirit kader-kader PMII dalam membangun kaderisasi yang tepat sebagai jawaban atas keresahan-keresahan yang terjadi dalam kaderisasi rayon hari ini, tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau berusaha dan tidak ada yang utopis selama kita mau melakukannya. Tabik.



Penulis: Amar Makruf Rahmatulloh (Kader PMII Rayon Tabbassam Wh Jombang)
Editor: M. Hazim
×
Berita Terbaru Update