Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

SDGs, Deep Learning: Problem Pendidikan dalam Kacamata Pendidikan Kritis Paulo Freire

Tuesday, January 7, 2025 | 2:42 AM WIB Last Updated 2025-01-07T10:42:35Z


Pendidikan sebagai alat dalam mengembangkan potensi diri setiap individu manusia tentu harus menjadi prioritas utama bagi suatu lingkungan untuk dilakukan secara massif, inovatif dan progresif sehingga cita-cita dalam pendidikan bisa tercapai. Semakin baik sistem pendidikan yang dilakukan tentu semakin baik pula kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan begitupun sebaliknya. Demikian juga permasalahan yang selalu mengahantui dunia pendidikan tidak akan pernah bisa terelakkan sehingga dalam pembangunannya perlu strategi dan langkah taktis yang konkret dalam penyelesaiannya.

Dalam hal ini pemangku kebijakan tidak boleh gegabah dalam menentukan sistem pendidikan yang tepat dalam wilayah jangkauannya. Indonesia sebagai negara dengan 200 juta lebih jiwa tidak luput dengan masalah dalam perumusan sistem pendidikannya, terbukti hingga usia 79 tahun ini setidaknya sudah berganti 9 kurikulum dengan Kurikulum merdeka sebagai yang terakhir (M. Asri, 2017). Pergantian kurikulum disetiap dekade merupakan indikasi bahwa Indonesia masih kesulitan dalam memformulasikan sistem pendidikan yang tepat sesuai dengan kebutuhan zaman dan mampu diterapkan serta diterima oleh seluruh masyarakatnya. Bukan berlebihan jika masyarakat hanya dijadikan kelinci percobaan para elite dalam menentukan kebijakan pendidikan, lebih parahnya ini dilakukan terus menerus tanpa tahu kapan sistem ini akan berakhir. Terlepas dengan alibi kurikulum yang diberikan harus mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman, faktor manusia tidak pernah menjadi pertimbangan.

Subtainable Development Goals Issue yang marak diperbincangkan dewasa ini tidak luput dari perhatian penulis. Wacana yang diinisiasi oleh PBB ditahun 2015 ini merupakan lompatan luar biasa yang sedang digencarkan. Dikutip dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, SDGs bertujuan untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan dan menjaga keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat. Selain itu, program ini bertujuan untuk menjaga kualitas lingkungan hidup dan melakukan pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang bisa menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Secara garis besar SDGs dirumuskan menjadi 17 tujuan dan menempatkan pendidikan dalam posisi keeempat, dibelakang mengentaskan masalah kemiskinan, kelaparan, dan menunjang kesejahteraan. Wacana ini diharapkan terealisasi pada 2030 mendatang. Berangkat dari wacana tersebut pemerintah di negara-negara berkembang utamanya dituntut untuk segera merumuskan sistem pendidikan yang relevan dalam memperbaiki kekurangan yang terjadi. Indonesia sedang menuju kesana dengan melakukan evaluasi terhadap kurikulum yang dipakai, Prof Abdul Mu'ti selaku Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mencoba memberikan terobosan.

Deep Learning merupakan wacana yang tengah digagas oleh Prof. Abdul Mu'ti selaku Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Menurutnya, Deep Learning hanyalah pendekatan dalam pembelajaran bukan kurikulum, seperti marak yang diberitakan akhir ini terkait penggantian kurikulum merdeka dengan kurikulum yang baru. Deep Learning merupakan konsep pembelajaran yang mendalam dan bertujuan menyederhanakan materi pelajaran yang selama ini dianggap terlalu padat. Dengan begini terjadi perbedaan perspektif antara kaum elite birokrasi dengan masyarakat awam dalam menanggapi wacana tersebut.

Meski beliau memaparkan Deep Learning hanya pendekatan tetapi dalam narasi selanjutnya juga menyampaikan akan adanya evaluasi terhadap kurikulum merdeka yang telah digagas oleh Nadiem Makarim. Jikalau pergantian kurikulum pendidikan kembali dilakukan maka perlu adanya koreksi ulang terkait orientasi pendidikan yang ingin digencarkan oleh para elite.

Freirean, atau aliran pendidikan Paulo Freire pada dasarnya adalah suatu pendekatan dan pemikiran yang berangkat dari asumsi bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dari sistem yang menindas. Penganut pendidikan Freirean berangkat dari suatu kepercayaan bahwa pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Sebaliknya, pandangan ini juga berasumsi bahwa pendidikan bagi kekuasaan selalu digunakan untuk melanggengkan ataupun melegitimasi dominasi mereka. Oleh karena itu hakikat pendidikan umumnya bagi mereka tidak lebih dari sebagai sarana untuk mereproduksi sisteotip dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas, relasi gender, relasi rasisme ataupun sistem relasi lainnya.

Pandangan ini dikenal dengan ‘teori reproduksi’ terhadap sistem yang tidak adil melalui pendidikan. Bagi penganut mazhab Freirean, hakikat pendidikan adalah demi membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat proses humanisasi atau memanusiakan manusia. Kunci bagi proses pendidikan ini adalah proses membangkitkan kesadaran kritis. Freire membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi masyarakat. Dalam pandangan Freire pendidikan tak lain adalah proses memanusiakan manusia kembali. Secara jernih Freire membagi-bagi tingkat perubahan kesadaran manusia dari kesadaran magis (magical consciousness) ke kesadaran naif (naival consciousness) dan bagaimana mencapai pada kesadaran kritis (critical consciousness), dengan piawai. Melalui penjelasan Freire akan terbuka kedok kepentingan yang selama ini menyelubungi sistem pendidikan (Nur Sayyid Kristeva, 2016).

Pendidikan seharusnya memerdekakan masyarakat tanpa adanya keterlibatan politik didalamnya, dalam artian pendidikan harus murni untuk membebaskan manusia dari belenggu penindasan. Pendidikan yang hanya dipergunakan untuk meneruskan dominasi pemerintah dengan campur tangan politik, manusia hanya akan menjadi domba-domba yang mau tidak mau harus mengikuti apa yang dikatakan tuannya. Pendidikan semakin jauh dari memanusiakan manusia karena dalam sistem pendidikan yang seperti itu manusia hanya dijadikan objek percobaan tanpa diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya. Sistem yang seharusnya diperhatikan Elite adalah bagaimana pendidikan itu mampu membuat manusia mengaktualisasikan dirinya bukan malah sebaliknya manusia yang menyesuaikan sistemnya.

Kepentingan melanggengkan kekuasaan dengan cara menunjukkan eksistensi dalam wujud kebijakan juga perlu di tinjau ulang, selama ini yang diganti hanyalah materi dan bahan ajar bukan role model dan orientasi nya. Setiap ganti menteri pasti ikut berganti juga kurikulumnya, setiap hari yang dibahas hanyalah materi dan bahan ajarnya saja tanpa mempertimbangkan SDM. Pola fikir dari kaum Elite dalam mengelola pendidikan seharusnya segera dirubah bukan apa kurikulum yang tepat tetapi bagaimana kurikulum tersebut bisa relevan dengan kebutuhan manusia dalam pengaktualisasian dirinya. Pendidikan bukan ajang transaksional ada uang ada barang, tetapi proses penempaan manusia agar lebih memanusiakan manusia, pemberdayaan manusia dalam pengaktualisasian dirinya.

Kesadaran kritis perlu ditanamkan ke setiap individu peserta didik karena sebagus apapun progam yang digalakkan pemerintah jika itu hanya bersangkutan dengan kualitas dan kuantitas materinya saja tanpa role map dan orientasi yang jelas. Maka bisa dipastikan SDM yang dihasilkan hanya sebatas robot-robot perusahaan para buruh yang hanya tahu saya menjalankan perintah saya mendapatkan upah, karena sedari awal mindset yang ditanamkan dalam manusia di dunia pendidikan hanyalah selesaikan materinya kamu akan lulus, kerjakan tugasnya kamu akan mendapat nilai plus. Setidaknya ini bisa menjadi koreksi bersama bahwa pendidikan bukan hanya sekedar transaksi pengetahuan apalagi politik melanggengkan kekuasaan tetapi proses pemberdayaan manusia. Wacana yang dibahas bukan lagi tentang pemenuhan materi tetapi pemenuhan kebutuhan manusia. Pendidikan bukan untuk memperpanjang perbudakan dan pembodohan tetapi memerdekakan manusia dari ketertindasan dan mencapai pengetahuan.

Hemat penulis sebaik apapun kurikulum maupun sistem pendidikan diwacanakan tetap tidak akan relevan selama pola fikir kaum Elite masih primitif, pendidikan hanya sekedar formalitas tanpa adanya orientasi yang jelas, pendidikan hanya untuk menciptakan perbudakan baru bukan untuk meningkatkan kesadaran kritis manusianya. Penulis sadar jika ide Freirean belum mesti relevan dan dapat diterima, tetapi setidaknya melihat problem pendidikan yang terjadi dari sudut pandang Freirean kita dapat menarik benang merah problem-problem yang terjadi dan secara tegas dan lugas berfokus pada penyelesaiannya, meningkatkan kesadaran kritis dalam dunia pendidikan, memanusiakan manusia dan mencapai cita-cita pendidikan.



Penulis: Amar Makruf Rahmatulloh (Ketua Rayon Tabassam WH)
Editor: Titis Khoiriyatus Sholihah
×
Berita Terbaru Update