Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tuhan Telah Mati

Wednesday, July 7, 2021 | 10:21 PM WIB Last Updated 2021-07-08T05:21:25Z



Oleh : Syaichon Ibad, Lahir 11 Mei 1998 di Gresik. Mahasiswa Aktif prodi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya.

“Bagi Nietzsche, “Tuhan” hanyalah wadah untuk menampung segala bentuk kegelisahan umat manusia dalam mencari jaminan hidup ini. Maka layak ketika beberapa orang telah membunuhnya, bukan berarti tidak menghidupkan tuhan-tuhan yang lain”

Semuanya berawal dari seorang tokoh filsuf ahli filologi sekaligus penyair yang bisa di bilang sangat provokatif dalam merangsang umat manusia agar terus merenung, terutama melalui aforismanya yang meledak di bumi Jerman yakni “Tuhan Telah Mati”. Hal ini tentunya sangat menuai gelak tawa, khususnya bagi kalangan awam. Namun awam yang dimaksud penulis disini bukan dalam arti agama, melainkan secara pengetahuan.

Nama lengkap dari pembunuh tuhan ini adalah Friedrich Nietzsche, ia berasal dari keluarga yang sebenarnya sangat akrab dengan sakramen-sakramen Gereja. Lucunya Nietzsche juga dirasa bernasib sama dengan al-Hallaj, yang membedakan hanya al-Hallaj jatuh ditangan para mullah sehingga di-bid’ah-kan. Sedang Nietzsche jatuh di tangan para dokter yang kemudian memvonisnya gila. Hal ini wajar saja, sebab Nietzsche sendiri menulis memang bukan untuk zamannya, melainkan untuk peradaban selanjutnya (St.Sunardi, Nietzsche, 1996: 11) .

Dengan gaya khas kepenulisannya yang unik dan banyak memberi ruang-ruang yang entah bagaimana satu sama lainnya yang saling berhubungan, membuat Nietzsche terkesan berbeda dengan para filsuf sebelumnya. Dimana para filsuf menuangkan segala gagasan sedemikian rapi dan sistematis dalam karyanya, dengan tujuan agar setiap generasi peradaban bisa memahaminya dengan mudah. Tapi Nietzsche justru sebaliknya, ia tidak mau dimengerti. Bahkan Nietzsche sendiri akan khawatir dan merasa iba ketika karya-karyanya bisa dipahami. Karena menurutnya, yang bisa memahami afirmasi-afirmasinya hanya orang-orang yang memiliki pengalaman hidup semengerikan dirinya.

Dalam pengembaraannya, Nietzsche memang kerap di dera oleh keterputusasaan-keterputusasaan. Dari lipatan, tendangan, hingga bantingan irama takdir. Dimulai ketika umur Nietzsche yang baru saja menginjak empat tahun tapi sudah ditinggal mati oleh ayahnya, terjebak di dalam cinta segitiga dengan novelis cantik Lou Andreas Salome dan Paul Ree yang ternyata temannya sendiri. Hingga akhirnya Nietzsche memilih untuk menyendiri sampai akhir hayatnya, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain sembari menulis dan menulis. Ironinya, dua tahun sebelum nafas terakhirnya Nietzsche sudah tergeletak seperti ikan-ikan di pasar, bahkan dia sendiri sudah tidak menyadari bahwa dirinya mulai termasyhur dan terkenal.

Kehidupan Nietzsche ini diawali dengan adanya indikasi-indikasi akan kelahiran sebuah peradaban dimana seluruh makna dan nilai akan runtuh,  nihilisme adalah istilah yang dijadikan Nietzsche untuk mengenali masa tesebut. Runtuhnya nilai ini di latarbelakangi oleh crisis of confidence atau kebutuhan besar akan pegangan manusia yang semakin menipis setiap harinya, baik dari aspek ilmu pengetahuan, maupun keagamaan. Nah, Nietzsche menggunakan kalimat “Tuhan Telah Mati” untuk mewaliki keruntuhan dua bentuk jaminan diatas.

Peristiwa ini terjadi tepatnya pada saat peradaban Eropa dibangun oleh tradisi platoniko kristiani, tradisi yang membesarkan Eropa itu sendiri telah melahirkan manusia-manusia terbina dalam metode saintifik yang ketat beserta pembacaan-pembacaan secara kritis terhadap segala hal. Tradisi inilah yang menurut Nietzsche telah membuat tuhan terbunuh, sebab regoritas sains membuat manusia cerah sulit mengimani tuhan umat Kristen yang kerap ditampilkan berwajah manusiawi dan terlalu antropomorfistik.

Kematian tuhan ini tidak bisa terelakkan, bahkan menurut Nietzsche upaya Hegel dan Kant yang membela tuhan dengan merasionalkan kehadiran dzat sang Makna melalui segala yang real hanya akan memperlambat kabar kematian tuhan saja. Selain itu, menurut Nietzsche logika umat kristiani dalam ruang pengakuan masa itu telah membuat manusia tanpa sadar untuk terbiasa mencari kebenaran akhir yang paling tinggi sembari mengebiri realitas (A. Setyo Wiwobo, Gaya Filsafat Nietzsche, 2017 :335).

Disini, penulis sebisa mungkin menghindari istilah-istilah terminologi yang membuat publik makin bingung dengan pemikiran Nietzsche, sebab penulis sendiri sependapat dengan Fahruddin Faiz yang menyatakan bahwa bila ingin membumikan filsafat maka refleksikan setiap gagasan-gagasan besar milik para filsuf ke dalam konteks kehidupan kita dan menguraikannya pada tingkatan masing-masing pendengar, disini dalam konteks si pembaca. Ditambah kata “memahami” dengan “menjelaskan” dalam disiplin hermeneutika (interpretasi) sangat kentara perbedaannya, dimana menurut para ahli filologi “memahami” hanya berbicara soal porsi diri sendiri, sedang “menjelaskan” lebih ke ukuran baju orang lain (F. Budi Hardiman, Seni Memahami, 2015: 37). 

Bila manusia membutuhkan pegangan atau sebuah kepercayaan sebagai tongkat saat ia berjalan, berarti pada awalnya manusia-manusia ini berserakan bahkan lumpuh. Sehingga umat manusia kemudian membutuhkan sesuatu hal dari luar untuk menyatukan dirinya kembali, hal ini mudah namun juga sulit diwaktu yang bersamaan. Untuk memperjelas uraian diatas perlu diketahui bahwa hal yang dikritik oleh Nietzsche adalah segala bentuk Theisme atau kepercayaan, tapi tetap dalam lingkup konteks kehidupan kita. Seperti yang telah dijelaskan oleh Fahruddin Faiz bahwa “untuk apa agama bila justru membuat mentalitas kita seperti budak sekaligus pengecut?”.

Dengan kata lain, sedikit-sedikit ke tuhan, ada masalah sedikit lari ke tuhan, kita tidak bisa tangguh dan berkembang!. Apalagi tuhan juga kerap dijadikan kambing hitam, bahkan dijadikan dalih saat kita melakukan kesalahan. “untuk apa ada tuhan kalau malah membuat kita lari dari masalah dan enggan mengakui kesalahan?”, nah kalau dalam bahasanya Nietzsche “bunuh saja tuhan yang semacam ini!”.

Banyak persitiwa yang kerap kita jumpai dizaman sekarang yang bisa mewakili pernyataan diatas, terutama di tengah pandemi. Dimana banyak kaum muslimin yang mengira bahwa hal-hal yang dilakukan sangat mencerminkan nilai-nilai keislaman, yang sebenarnya justru menghancurkan Islam itu sendiri dari dalam. Contoh kecilnya seperti kebijakan protokol kesehatan dari pemerintah dalam rangka mengatasi persoalan wabah, semacam; pemakaian masker, jaga jarak, yang masih banyak diacuhkan oleh umat Islam dengan dalih hidup dan mati sudah ada di tangan tuhan. 

Hal ini sangat merusak citra Islam di depan wajah publik, seakan-akan Islam sendiri tidak pernah mengajarkan bagaimana sikap umat Islam ketika berhadapan dengan wabah. Selain itu, dampak dari peristiwa diatas secara tidak sadar telah membuat kebebasan manusia dalam konteks Ikhtiar menjadi sangat sempit dan cenderung ke paham Jabariyah. Paham ini berkeyakinan bahwa setiap tindakan manusia dalam keadaan majbur atau terpaksa, dengan ungkapan lain manusia sebagai makhluk yang  free will and free act kemudian tidak memiliki kemerdekaan sedikitpun dalam menentukan perbuatan maupun kehendaknya (Qadri Fathurrahman, Dirasatul Firaq, 2019: 116).

Sedangkan yang dimaksud dengan membunuh satu tuhan sama halnya dengan menghidupkan tuhan-tuhan kecil yang lain ialah ketika manusia sebagai binatang pemuja kata Nietzsche, tanpa sadar telah menciptakan tuhan dengan model yang lain, seperti ideologi, rasio, politik, sains, bahkan atheisme. Yakni sebuah kepercayaan pada “ketidakpercayaan” (GS. 347).  Nietzsche menyatakan bahwa “Jika pujaan dalam bentuk tuhan mati, tak akan kehilangan akal. Para manusia akan mencari obyek lain untuk dipuja termasuk dirinya sendiri. Karena manusia haus akan pujian dan sangat butuh dengan pegangan” (La Gaya Scienza: 346). 

 Telah menjadi tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pegangan, akan tetapi pengehendakan mati-matian terhadap sesuatu yang dibakukan atau diyakini sebagai satu-satunya kebenaran yang absolut juga dikritik oleh Nietzsche. Dikarenakan banyak manusia yang kemudian menjadi martir dari kebenaran yang paling tinggi, banyak individu yang pada awalnya sangat mencintai perdamaian sekejap berubah menjadi sadis mengerikan saat kebenaran paling kudus versinya di intervensi oleh orang lain (A. Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan, 2009: 7). 

Bila kita kembali merujuk pada pernyataan Fahruddin Faiz yang menjelaskan bahwa menurut Nietzsche logika kita ini sebenarnya terbalik, “bukan tuhan yang menciptakan kita, sebaliknya! kitalah yang menciptakan tuhan”. Dalam konteks kehidupan kita bagi beberapa orang yang dari lahir hidup di bawah kolom jembatan, tuhan baginya Maha jahat dan Maha menyiksa, akan tetapi untuk sebagian yang lain dan orang-orang tertentu tuhan justru maha baik dan maha adil. Dalam teori matrealisme dialektis milik Karl Marx, objek (kebenaran) baru akan berguna bila ada aktivitas subjek (manusia) yang mengobyektivitasinya. Dengan ungkapan lain intervensi subyektif manusialah yang sering mengkonstitusikan kata “kebenaran”.

Dengan demikian pengehendakan mati-matian kepada bentuk kebenaran ketat dalam bentuk politik, sains, hingga sikap fanatisme secara membabi buta, sama halnya dengan pembunuhan secara massal terhadap kebenaran-kebenaran kecil yang lain. Sekalipun Nietzsche sendiri menolak kebenaran, karena baginya kebenaran hanya sebuah kesalahan yang tidak bisa terbantahkan. Dimana manusia sering menjadikannya sebagai kebutuhan bukan sebatas untuk mengetahui, tapi menguasai realitas (St. Sunardi, Nietzsche, 1996 :96).

×
Berita Terbaru Update