Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

KESAKTIAN FILSAFAT NUSANTARA: KOLABORASI GAYA BERPIKIR LOGIS ANALISIS DENGAN SIMBOLIS SINTESIS

Friday, August 6, 2021 | 11:22 PM WIB Last Updated 2021-10-14T11:41:12Z


Penulis Syaichon Ibad, Mahasiswa Aktif prodi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.

“Ketika gaya berpikir sintesis dibakukan dan diawetkan tanpa pernah digugat oleh analisis, maka akan bekulah sebuah peradaban. Sebaliknya, bila yang dirayakan hanya analisis yang mengurai dan terus mengurai, maka kehancuranlah yang akan datang. Keduanya bekerja sama dalam gerak melingkar untuk menciptakan peradaban yang lebih baik dan berotak.”

Dibalik kekayaan alam yang melimpah, Nusantara juga memiliki keanekaragaman kultural dimana kebudayaan dan tradisinya sangat berlimpah ruah tersebar di berbagai plosok tanah ibu pertiwi. Sehingga upaya untuk menemukan filsafat Nusantara tidaklah mudah, ditambah lagi dengan adanya dominasi kuat dari peradaban Barat yang sedang mengalami globalisasi. 

Selain itu, yang sering digunakan oleh masyarakat Nusantara pada umumnya adalah bentuk pemikiran Barat yang telah mapan secara saintifik. Bentuk-bentuk kajian yang biasa dilangsungkan hanya menempatkan sejarah Nusantara atau identitasnya sebagai studi kasus, dengan ungkapan lain Nusantara hanya dijadikan sebagai objek kajian semata dengan menggunakan produk pemikiran filsafat barat sebagai subjek untuk menganalisis fenomena yang terjadi di Nusantara. 

    Kata  Nusantara sendiri berasal dari dua kata yang terpisah dalam bahasa sansekerta, yakni Nusa yang berarti “pulau” dan antara yang bermakna “luar”. Sedangkan Istilah “Nusantara” pertamakali ditemukan pada sumpah Gajah Mada saat ia ingin menyatukan seluruh pulau yang ada di luar pulau Jawa,  hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya filsafat Nusantara. Dalam artian istilah Nusantara pada awalnya digunakan untuk menyebut pulau-pulau yang ada di luar kerajaan Majapahit (L.A.S Gunawan, 2020).

    Namun politik Nusantara pada wacana yang lain sebenarnya sudah ada sejak kerajaan Singasari berdiri, tepatnya saat Raja Kertanegara sebagai Raja kerajaan Singasari membangun konsolidasi antar negara-negara Nusantara atas nama persahabatan dengan tujuan meluluhlantakkan kekaisaran Tiongkok sebagai kekuasaan terbesar yang menguasai lalu lintas Selat Malaka. Selain itu kekasairan Tiongkok juga sebagai bentuk ancaman bagi keamanan negara Singasari terutama negara-negara Nusantara lainnya (Mulyono, 2006)

Pada tahun 1292-1293, ekspedisi kelautan bangsa Mongol yang ingin menaklukkan Jawa berakhir dengan tragis. Orang-orang Jawa Buddhis Mahayana sebagai pemenang masa itu pada tahun 1294 M, baru mendirikan kerajaan pra Islam terakhir di Indonesia yakni Majapahit. Raja pertama yang memimpin pemerintahan kerajaan Majapahit kala itu bergelar Kertarajasa Jayawardhana dan bernama Raden Wijaya. 

Setelah 32 tahun Majapahit berdiri, Prabu Kala Gemet pada akhirya naik tahta menjadi Raja menggantikan Raden Wijaya. Setelah Raja Raden Wijaya ditikam dan terbunuh oleh Tanca, tepatnya setelah Tanca menusuk Raja Raden Wijaya di waktu yang bersamaan Gajah Mada menusuk Tanca. Akan Tetapi menurut Nagarakretagama pupuh 49, Gajah Mada muncul dalam wajah kepemerintahan kerajaan Majapahit sejak ia berhasil meredam pemberontakan Kuti (Kresna, 2015).

Barulah pada tahun 1334 Masehi, Gajah Mada sebagai Patih Amangku Bumi mengucap sumpah palapanya di hadapan para Mentri dan Rani Majapahit: “Sira Gajah Mada pepatih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun Huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana Ingsun amukti Palapa”. 

Artinya: Patih Amangku Bumi Gajah Mada bersumpah bahwa: ketika saya telah berhasil menundukkan Nusantara ( Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik), baru saya akan Beristirahat. Dari sumpah inilah program politik Gajah Mada sebagai Patih Amangkubumi pada hakikatnya warisan gagasan Nusantara Raja Kertanegara, lebih jelasnya gagasan ini disebut dengan Gagasan Nusantara II. Dimana isinya adalah persoalan penundukan negara-negara Nusantara (sebrang), seperti yang dimuat dalam Sumpah Palapa Gajah Mada di atas.

    Kerajaan Majapahit memang sangat termasyhur di tanah Jawa, ketermasyhuran namanya pun tidak bisa terlepas dari peran Patih Amangkubumi Gajah Mada masa kepemerintahan Hayam Wuruk. Kerajaan Majapahit mampu menjadi titik sentral kekuasaan dari seluruh wilayah-wilayah yang ada di Nusantara. Kendati dalam perkembangan bangsa Indonesia, Kerajaan Majapahit juga tidak bisa menafikkan Kerajaan Singsari. Sebab dari garis keturunan pendiri Kerajaan Majapahit yakni Raja Raden Wijaya adalah pewaris kekuasaan Kerajaan Singsari sebelum akhirnya runtuh dikarenakan pembukaan lahan untuk mendirikan kerajaan Majapahit (Ni'mah, 2019).

Bahkan Ir. Soekarno sendiri pernah menyatakan bahwa bangsa yang beliau proklamasikan adalah bangsa bekas kekuasaan Majapahit dan Singasari, dengan fakta sejarah yang ada kita tidak bisa menafikkan bahwa kedua Kerajaan tersebut selalu identik dengan penyatuan Nusantara. Baik dari gerak politik Nusantara pertama saat Kerjaan Singasari membangun konsolidasi dengan negara-negara yang ada di Nusantara untuk menghancurkan kekaisaran Tiongkok, maupun dalam Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Patih Amangkubumi Gajah Mada yang berhasil dilaksanakan pada pemerintahan kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Hayam Wuruk. 

Hal inilah yang kemudian membuat kekuasaan Kerajaan Majapahit meluas meliputi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini hingga wilayah Malaysia, Singapura, dan Brunei. Penyatuan Nusantara ini dapat kita lilhat lebih detailnya pada karya sastra Majapahit yaitu kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular dan oleh pendiri Negara Republik Indonesia kemudian dijadikan sebagai slogan kebangsaan, yakni Bhineka Tunggal Ika. Kalimat ini merupakan kalimat bahasa Jawa Kuno yang bermakna sekalipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua, selain itu melalui kalimat Bhineka Tunggal Ika pula telah membuktikan bahwa Kerajaan Majapahit terdiri dari beraneka ragam masyarakat dan telah mampu menghargai perbedaan (Sutrisno, 2018).

Pengertian filsafat pada umumnya adalah para pecinta kebijaksanaan, berasal dari bahasa Yunani yang berarti “cinta akan kebijaksanaan”. Maka seorang filsuf adalah seorang “pencari” (“Philos”) atau “pecinta” hikmat atau kebijaksanaan (“Sophia”).  Kata Philosophos sendiri pada awalnya adalah bentuk kritik dari Pythagoras (582-496 SM) dan Plato (428-328 SM) kepada kelompok sofis yang berkeyakinan bahwa mereka memiliki jawaban dari setiap pertanyaan, sedang menurut Phytagoras “Manusia harus fokus pada tugasnya di dunia yaitu mencari kebijaksanaan (pengetahuan) dan hanya tuhanlah yang mempunyai hikmah (kebijaksanaan) yang sungguh-sungguh” (Adib, 2011).

Dalam sejarah filsafat bisa dipilah menjadi tiga area besar, yakni: Filsafat India, Cina, dan Barat. Pertama, filsafat India. Cara berfilsafat India telah lama dijelaskan oleh seorang sastrawan dan filsuf  Rabindranath Tagore (1816-1941) dengan baik, baginya Filsafat India bersandar pada sebuah keyakinan mengenai adanya kesatuan fundamental antara manusia dengan alam, harmoni antara individu dan kosmos. Kedua, filsafat Cina. Kebudayaan dan pemikiran Cina lebih antroposentris daripada India dan Barat, selain itu Cina juga lebih pragmatis, selalu mengajarkan manusia dalam bertindak agar antara dunia dan surga keduanya bisa tercapai.  

Ketiga, filsafat Barat. Filsafat barat dibagi menjadi empat periode, pertama, Barat zaman Kuno (600-400 SM). Terdiri dari filsafat pra Socrates di zaman Yunani; Zaman keemasan Yunani: Socrates, Plato, Aristoteles, dan zaman Hellenisme. Kedua, Barat Zaman Patristik dan Skolastik (400-1500). Pemikiran Bapa Gereja dan puncak filsafat abad pertengahan adalah beberapa bagiannya. Ketiga, Barat Zaman Modern (1500-1800). Terdiri dari zaman renaissance, Barak, Fajarbudi dan Zaman Romantik. Satu hal yang dapat disimpulkan, bahwa baik India, Cina, maupun Barat, ketiganya hidup dalam lingkungan intelektual dewasa (melepas hal-hal gaya berpikir mistis). 

Bila merujuk pada ukuran diatas, maka Nusantara tidak memiliki filsafat. Sebab pada masa lampau tepatnya pada zaman Hindu dan kerajaan-kerajaan Islam hanya berbicara hal-hal yang berbau magis dan tassawuf. Akan tetapi, bila filsafat dipahami sebagai jawaban-jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat eksistensi, maka masyarakat pada umumnya atau bahkan suku yang paling primitif sekalipun yang ada di Indonesia pasti memilikinya. Dengan demikianlah Nusantara menjadikan pusat kajiannya pada kekayaan eksistensinya sendiri di tanah ibu pertiwi, baik dari produk budaya, tingkah laku, hingga ungkapan lisannya, baik yang tertulis maupun tidak (Jakob, 2010).

Masyarakat Nusantara memiliki sejarah sekaligus cara berpikir yang berbeda, mempunyai sistem dalam pengolahan pengetahuan mereka sendiri, memiliki warisan dan nilai-nilai sendiri. Filsafat dalam Nusantara bukan sekedar pengetahuan yang rasional, melainkan harus dibuktikan dan bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ungkapan lain filsafat bukan sebatas wacana belaka, tapi sebagai ‘pegangan hidup’ yang sedari dulu dituangkan dalam tindakan-tindakan. Filsafat Nusantara adalah bagaimana cara individu melihat, menilai sesamanya, termasuk dirinya sendiri sebagai manusia, sebagai ciptaan Tuhan yang Maha Esa di alam semesta,dan bisa tentunya dapat digunakan dalam kehidupan sehari-sehari (Kresna, 2015).

Dari filsafat India, China, dan Barat, ketiganya memiliki ciri khas gaya berpikir yang rasional (Intelektual Dewasa), dalam artian model berpikir dengan menguraikan setiap realitas tapi tetap dalam kaidah-kaidah yang logis. Pemikiran semacam ini memiliki dua karakter. Pertama, ia bercirikan membuat analisis atau mengurai, secara simbolik mengurai disini dalam artian seperti pisau tajam rasionalitas yang memotong kue menjadi bagian-bagian kecil beserta penggolongan , atas dasar “logos” (kebenaran akal budi) dan simbolnya adalah persegi empat.

Kedua, cara menata secara sistematis bagian-bagian yang telah di diurai. Dalam bahasa Descartes adalah tegas irisannya dan terpilah-pilah, dengan demikian karakter pemikiran rasional adalah dengan mengurainya lebih dulu, menganalisa dengan penggolongan jenis atau dengan simbol persegi empat dan menyusunnya secara sistematis (Lasiyo, 1997).

Sedangkan berpikir simbolis adalah penalaran untuk memahami realitas, merajutnya melalui simbol-simbol atau tanda-tanda suasana. Saat tanda-tanda dipahami kemudian disusun hingga sekitar ikut memahaminya, disitulah tanda-tanda berubah menjadi kode. Cara berpikir secara simbolis disini memiliki peran dalam Ilmu pengetahuan, seperti dalam membaca sebuah sastra yang hanya mengandalkan pemahaman logis, maka akan luput kode-kode yang ada didalam sastra itu sendiri semacam; nuansa hati, penokohan tunggal atau jamak berlipat-lipat, ruang auro yang tidak mampu ditangkap oleh logika, dan lain sebagainya. Ciri pemikiran simbolis adalah menenun, sintesis, mengutuhkan (Sutrisno M. , 2005).

    Berpikir secara logis terus-menerus berdampak pada semua hal yang akan diurai, didekonstruksi sampai ke bagian-bagian kecil, dipotong-potong. Bagaimana bila peradaban hanya dimonopoli oleh pemikiran yang seperti ini? Bila setiap dari individu hanya mampu membongkar motor tanpa mampu mengembalikan atau menyusunnya seperti awal? Atau jam dinding yang di bongkar tanpa disusun seperti semula. Pada intinya cara berpikir yang logis masih membutuhkan pemahaman secara simbolis (Sulton, 2016).

    Meletakkan pola berpikir secara logis analisis dan simbolis sintesis sebagai kekuatan dua primordial purba peradaban dalam kajian Freud, mengarah pada kekayaan budaya di Nusantara, kaya akan pluralitas kearifan lokal, dan kekayaan-kekayaan agama. Hal ini seharusnya menyadarkan kita bahwa betapa telah sejak Mpu Prapantja dan Mpu Kanwa dari pemikiran nya yang berhasil mengurai analisis maupun pikiran yang merajut, mengutuh-bulatkan secara sintesis peradaban kita (Nusantara) dengan dua jalan simbolik.

Pertama, dalam dunia estetika bangunan candi, prasasti terutama arsistektur Borobudur. Dalam artian bahwa arsistektur candi akan menjadi teks yang banyak  memberi kode-kode kehidupan yang kemudian kita kaji secara mendalam dan menjadikannya sebagai jalan analisis sekaligus membuat aksi sintesis merajut. Kedua, Di dunia teks ajaran hidup simbol Durga (Thanatos) yang memecah dan Umayi (Eros) yang menautkan kembali sebagai perawatan kehidupan.

Dengan demikian, Mpu Prapantja dan Mampu Kanwa telah memberikan sebuah sintesa yang apik di tengah pergolakan definisi diatas mengenai filsafat, tepatnya dengan mensinergikan gaya berpikir analisis yang mengurai dan pikiran yang merajut secara simbolis sintesis untuk Nusantara agar melahirkan peradaban yang lebih progresif sekaligus terdidik. 

Editor: M. Hafizh Nabiyyin

×
Berita Terbaru Update