Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Merealisasikan Sustainable Development Goals (Sdg's) Sebagai Kesepakatan Pembangunan Global Dalam Konteks Kota Bekasi

Tuesday, August 17, 2021 | 8:28 AM WIB Last Updated 2021-10-14T11:41:00Z


Oleh : Ilham Syathiri Ahmad (Pengurus Komisariat PMII Universitas Mitra Karya Cabang Bekasi)


Setelah perang dunia ke-II, banyak sekali menyisakan kerusakan dan kesenjangan di berbagai negara. Tidak hanya dalam negara berkembang saja yang mengalami hal tersebut, melainkan negara maju pun ikut serta merasakannya dampaknya. Oleh karenya PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai organisasi perkumpulan dunia harus merumuskan dan menjawab persoalan diatas dengan cepat dan pastinya terukur, agar negara-negara yang statusnya masih berkembang bahkan jauh tertinggal segera melakukan pembangunan ulang.

Bila hal ini tidak segera ditangani dan diselesaikan, maka dirasa akan banyak negara-negara yang mengalami permasalahan yang lebih pelik lagi dan tentunya sangat berdampak pada kehidupan umat manusia dalam berbagai bidang seperti kesehatan, ekosistem, infrastruktur, dan tentunya pada wilayah pendidikan.

Dilansir dari sdg2030indonesia.org pada tanggal 25 September 2015, dari 193 negara berkumpul di markas PBB untuk mengesahkan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDG’s) sebagai kesepakatan pembangunan global. Rencana besar ini dirancang dengan melibatkan seluruh aktor pembangunan, baik itu Pemerintah, Civil Society Organization (CSO), sektor swasta, akademisi, dan sebagainya.

Dengan mengusung tema "Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan", rencana aksi global untuk 15 tahun ke depan ini berlaku sejak 2016 hingga 2030. Dengan target utama diantaranya mengakhiri kemiskinan sekaligus mencapai ketahanan pangan dengan mendukung pertanian berkelanjutan, memastikan pendidikan yang inklusif, pertumbuhan ekonomi, mencapai kesetaraan gender, infrastruktur yang tangguh dan mengurangi ketimpangan di dalam dan antar negara.

Sepintas, dengan prinsip utama SDG’s yakni Leave No One Behind (Tidak Meninggalkan Satu Orang pun), setidaknya SDG’s harus bisa menjawab dua hal sekaligus. Pertama, Keadilan Prosedural atau sejauh mana seluruh pihak terlebih negara yang tertinggal dapat terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan. Kedua, Keadilan Subtansial, dengan ungkapan lain sejauh mana kebijakan dan program pembangunan dapat dan mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat.

Sebagai wujud komitmen politik pemerintah Indonesia untuk melaksanakan SDG’s, maka Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2017, tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Perpres tersebut merupakan satu upaya agar pelaksanaan dan pencapaian SDG’s dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pihak.

Adapun proses memperkuat tiga pilar dari pemerintah Indonesia, dilansir dari liputan6.com. Pemerintah akan memperkuat tiga pilar, yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan peluang ekonomi dan mata pencaharian yang layak serta berkelanjutan, dan ekosistem yang mendukung.

Pilar pertama, akan diwujudkan melalui indikator kehidupan sehat dan sejahtera (kesehatan). Ketahanan pangan dan ekosistem pertanian yang berkelanjutan, pendidikan berkualitas dan ekosistem laut (perikanan). Pilar kedua, diwujudkan melalui industri, inovasi dan infrastruktur serta manajemen kelautan yang berkelanjutan. Dalam hal ini  pemerintah akan menciptakan ekosistem pendukung berupa kesetaraan gender, kemitraan, pembiayaan, kebijakan dan ketersediaan data untuk mendukung pilar ketiga.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dihitung dari berdasarkan data yang dapat menggambarkan ke empat komponen, yaitu angka harapan hidup yang mengukur keberhasilan dalam bidang kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lamanya bersekolah yang mengukur keberhasilan dalam bidang pendidikan, dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per-kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mengukur keberhasilan dalam bidang pembangunan untuk hidup layak.

IPM diperkenalkan oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR). IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang. Selain itu juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Semisal, indeks pembangunan manusia (IPM) di kota Bekasi pada tahun 2020 mencapai 81,50, namun nilai ini lebih rendah dari tahun sebelumnya tepatnya pada tahun 2019 IPM kota Bekasi mencapai 81,59 karena pasalnya belum terdapat kasus Covid-19. Sedangkan pengeluaran per-kapita penduduk tahun 2020 sekitar Rp15,7 juta, dibandingkan tahun lalu 2019 sekitar Rp16,1 juta. Walaupun IPM kota Bekasi Menjadi IPM tertinggi diantara kota penyanggah Ibu Kota tahun 2020, seperti Bogor sekitar 76,11, kota Depok sekitar 80,97 dan kota Tanggerang sekitar 78,25.

Bila IPM kota Bekasi turun, maka mengindikasikan bahwa angka kemiskinan mulai naik, hal ini diperkuat dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dimana angka kemiskinan memang mengalami peningkatan. Bahkan, telah mencapai 37%. Hal itu terlihat dari adanya kenaikan signifikan selama Pandemi Covid-19 atau pada tahun 2020 bila dibandingkan dengan tahun 2019 silam. 

DTKS 2019 dalam kategori miskin sebanyak 106.138 kartu keluarga, sampai dengan bulan Agustus 2020 DTKS bertambah sebanyak 152.138. Dengan beberapa kategori kelompok miskin yang dibagi menjadi empat, yakni desil 1 s/d 4. Dimana setiap level pada desil tersebut menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang ada di 12 kecamatan kota Bekasi.

Masyarakat yang ada pada desil 1 masuk kategori sangat miskin, desil 2 dikategorikan miskin, desil 3 digolongkan sebagai hampir miskin dan desil 4 sebagai rentan miskin. Apabila diuraikan berdasarkan wilayah, Kecamatan Bekasi Utara menempati posisi terbanyak jumlah KK yang dikategorikan desil 1. Sedangkan kalau diklasifikasikan sebagai berikut:

Desil 1 terdapat di dua kecamatan yaitu, Bekasi Utara sebanyak 8.951 KK. Kecamatan kedua yaitu Bekasi Timur dengan jumlah sebanyak 7.649 KK. Sedangkan Kecamatan Bekasi Barat dengan jumlah 6.625 KK. Kecamatan Jati Asih sebanyak 6.580 KK, Kecamatan Bekasi Selatan sebanyak 4.974 KK, dan Kecamatan Bantar Gebang dengan jumlah 2.657 KK.

Hingga saat ini, masyarakat miskin mencapai 152.002 KK dan warga diketagorikan desil 1 mencapai 64.842 KK. Sedangkan masyarakat yang dikategorikan desil 2 mencapai 17.288 KK. Sementara jumlah masyarakat yang tergolong desil 3 mencapai 10.680 KK dan desil 4 mencapai 59.192 KK.

Melihat angka kemiskinan yang terus menanjak akibat beberapa isu lokal, nasional hingga global. Ditambah saat PPKM ini diberlakukan, tentu saja hal ini juga akan berdampak kepada kemiskinan yang ada di kota Bekasi, sebagai penyandang Daerah Ibu Kota, kota Bekasi Jawa Barat menjadi daya tarik bagi para pencari kerja. 

Namun, lagi-lagi dihadapkan dengan kenyataan. Berdasarkan data BPS, Jawa Barat dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2021 telah mencapai 8,75 juta jiwa atau 8,92 persen. Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan bila dibandingkan dengan Februari 2020, dimana jumlah pengangguran tercatat sebesar 6,93 juta jiwa atau sebesar 7,71 persen. Dengan jumlah angkatan kerja pada Februari 2021 sebanyak 24,50 juta orang.

Sedangkan, di kota Bekasi sendiri korban PHK massal sekitar 1.543 orang  sampai dengan 21 September 2020 dan kenaikan angka pengangguran sebanyak 2,8%. Bila dikalkulasikan mencapai 2,2 juta orang untuk kategori usia kerja (penduduk usia 15 tahun keatas) pada tahun 2020.  Dengan demikian karena PPKM yang masih dilangsungkan hingga sekarang berpotensi akan terus meningkat angka pengagguran. Jika dilihat secara utuh berarti sama dengan akan terjadi lonjakan tingkat kemiskinan yang lebih luas lagi.

Menurut BPS, kota Bekasi mengalami minim pada pengeluaran konsumsi rumah tangga, yaitu - 3,68 pada tahun 2020. Sedangkan pada tahun 2019 pengeluaran konsumsi rumah tangga sekitar 0,22 dan pengeluaran konsumsi pemerintah - 0,03 pada tahun 2020 dan tahun 2019 sekitar 0,22. Pembentukan modal tetap domestik bruto -3,35 2020, pada tahun 2019 2,23. Dalam artian minus yang paling parah adalah konsumsi rumah tangga yaitu -3,58. Dengan demikian laju pertumbuhan ekonomi di kota Bekasi pun pada tahun 2020 mengalami minus yang cukup besar. 

Setelah kita melihat secara keseluruhan proses yang terdapat pada pertumbuhan ekonomi serta manusia. Maka, kota Bekasi akan sulit dalam merealisasikan SDG's sebagai suatu rencana besar, terlebih pada point mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimana saja dan mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan hingga pada poin memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua untuk semua usia.

Dengan demikian, melihat pertumbuhan ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), angka kemiskinan dan indeks pembangunan manusia yang ada di kota Bekasi, maka harus ada kebijakan pemerintah yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu rendahnya indeks pembangunan manusia dapat juga berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat yang ada.

Editor: Syaichon Ibad

×
Berita Terbaru Update