Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Juan Alfonsi: “Islam tidak bisa diperangi dengan gencatan senjata, melainkan dengan menghancurkannya dari dalam.”

Tuesday, September 14, 2021 | 7:14 AM WIB Last Updated 2021-10-14T11:35:11Z


Oleh : Syaichon Ibad

Mahasiswa Aktif Prodi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Konflik antar agama memang sudah terjadi bahkan sebelum Nabi Muhammad SAW sendiri lahir, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peritiwa penyerangan tentara Kristen yang dipimpin oleh Abrahah yang ingin meluluhlantakkan Ka’bah pada 570 Masehi (52 tahun sebelum Hijriah). Fenomena tersebut diyakini sebagai benih awal dari segala perseteruan antara Kristen dan Islam, yang kemudian berkelanjutan hingga Barat dengan Timur.

Bahkan globalisasi Barat (“dibaratkan” dari mentalitas, gaya berpikir, kekuatan global, dan gagasan.) sangat bisa kita rasakan pada era sekarang, entah lewat kekuatan persuasi atau dengan cara yang haram jadah, radikal, bila persuasi gagal. Tentunya dengan prospek-prospek yang meyakinkan bahwa hal yang paling diinginkan dan menguntungkan adalah menjadi apa yang sekarang menjadi lazim (Agustinus, 2005, p. 1). 

Semuanya berawal pada abad ke-13 saat umat Islam mencapai puncak keemasannya, kehadiran Islam yang hampir mengisi setiap jengkal permukaan bumi telah menarik perhatian orang-orang Barat untuk mempelajari sains, filsafat, sastra, dan politik di dunia Islam. Namun mereka kemudian mengembangkannya dan tepat pada abad ke-19, orang-orang barat datang kembali ke negara Islam untuk memperkenalkan teknologinya, yang dulu mereka ambil dari dunia Islam dan dikembangkan sekitar enam abad lamanya (Nasution, 1995, p. 40).

Gerakan inilah yang kemudian disebut dengan Orientalisme atau sekelompok ahli ketimuran yang berasal dari negara Barat yang gemar menjadikan Timur sebagai objek penelitian. Sama halnya dengan pendapat Edward Said yang menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu teknik untuk menjadikan Timur sebagai objek untuk dipahami, tentunya dengan pengalaman dan perspektif orang Barat (Hikmat, 2012, p. 2).

Kajian tentang lahirnya gerakan orientalisme pertama kalinya pun sebenarnya juga masih diperdebatkan di kalangan para peneliti sejarah, akan tetapi secara resmi gerakan ini dimulai sejak adanya ketetapan di gereja Viena pada tahun 1312 M. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya lembaga-lembaga penelitian tentang Islam dengan basis bahasa Arab di sejumlah Universitas-Universitas Eropa, selain itu hal diatas juga menjelaskan adanya gerakan orientalisme yang sifatnya tidak resmi sebelumnya (Bahiy, 1981, p. 469).

 Pada abad 1453 Masehi, tepat setelah Konstantinopel ditaklukkan oleh sultan Mehmed II atau Sultan Muhammad Al-Fatih, umat Kristen disini bertahan hidup di tengah hegimoni Islam yang semakin kuat di Eropa.  Di tengah pergolakan itu Juan Alfonsi sebagai penguasa Kristen di Castilla (1456) sekaligus salah satu tokoh orientalis klasik yang berasal dari Segobia, dalam perenunganya masa itu di Ayton Perancis menyadari satu hal bahwa Islam tidak bisa diperangi atau dilawan dengan gencatan senjata. Islam harus dihadapi dengan strategi lain, yakni menyerangnya dari dalam (Baihaki, 2017, p. 26)

Juan Alfonsi kemudian bekerja sama dengan Michael Scoot untuk mengaktualisasikan siasat itu dengan memperalat kaum muslimin yang ada di Spanyol untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa latin, yang kemudian hari ia pelajari untuk menerbitkan karyanya yang berjudul De Mittendo Gladio Spiritus in Sarracenes. Pada titik inilah dapat kita lihat secara seksama bahwa ancaman pemerintahan Otoman masa itu terhadap bangsa Eropa mengakibatkan para intelektual Barat mengkaji Al-Qur’an dengan motif inklinasi objektivitas (Masduqi, 2015, p. 3).

Disini untuk menyingkap buku-buku ketimuran yang menyangkut hukum Islam, tarekh, kebudayaan Islam hingga Al-Qur’an dan hadist, para orientalis lebih dulu mempelajari bahasa Arab sebagai pisau analisisnya. Kemampuan mereka dalam berbahasa Arab pun sangat mendetail, dengan kata lain mereka tidak hanya sanggup menerjemahkannya kedalam bahasa mereka, melainkan mereka juga mampu menulis buku-buku yang berbahasa Arab dengan maksud menghancurkan persatuan kaum muslimin dan membuat pemahaman mereka  mengenai kitab suci Al-Qur’an menjadi semakin berawan (Subakir, 2018, p. 31).

Qur’an studies dalam bingkai orientalisme memang terperangkap dalam dimensi akademis yang sangat kompleks, dikatakan kompleks karena ia identik dengan motif-motif yang amat variatif. Sebagai contoh kecilnya adalah Southen yang menulis keinginan orang Kristen mengenai kesepakatan Timur dan Barat mengenai agama Islam adalah Kristen yang sesat, Erpernius yang pertama kali membuat tata bahasa Arab atau Bedwell W yang berhasil menyunting sejarah nabi Muhammad SAW dan kamus bahasa Arab dalam tujuh jilid (Hafidz, 2019, p. 13). 

Setelah para orientalisme menerjemahkan dan mempelajari al-Qur’an, barulah muncul aksi phobia Islam yang ditunggangi oleh umat Kristen dan Yahudi pada Abad ke-16 M. Selain dari kekalahan Eropa-Kristen pada perang salib, gerakan ini cenderung lahir disebabkan Islam yang dinilai telah menimbulkan kerancauan-kerancauan dalam agama mereka (Yahudi dan Kristen). Gerakan ini bersifat missionaris, dimana mereka membuat konfrensi-konfrensi dalam rangka pemurtadan setiap muslim (Rahim, 2010, p. 183).

Target utama mereka sebenarnya bukanlah objektivitas atau memihak kepada Islam dan tradisinya, gerakan ini dari awal memang tidak bertujuan untuk mencari orisinalitas atau hal baik yang ada di dalam tubuh Islam, baik dari Al-Qur’an, hadist, terutama karya-karya besar para intelektual muslim pada umumnya. Pencapaian utama mereka adalah melahirkan kesalahan-kesalahan sebanyak-banyaknya di kalangan para pemuda, terutama yang belum cukup matang dan mudah untuk dibelokkan dengan cara membanjirinya dengan pertanyaan-pertanyaan, skeptisisme, dan sinisme (Jamilah, 1994, p. 173).

Hal ini diperkuat dengan adanya penolakan dari Ignaz Gholdziher (1850-1921) terhadap otentisitas hadist dengan dasar tidak adanya bukti empiris yang membuktikan bahwa hadist memang bersumber dari nabi Muhammad SAW. Ignaz memanggil teori ini dengan “Projecting Back”, yang berarti perawi hadist hanya menyematkan nama Muhammad dalam hadist buatannya. Selain itu Edward Gibbon (1737-1794) juga menulis tentang Nabi Muhammad SAW yang kemudian digambarkan sebagai pembohong dan individualistis yang cenderung pada seksualitas di hari-hari terakhirnya.” (Bahar, 2016, p. 57)

Namun tidak semua orientalis bertujuan yang demikian, karenanya dengan menggeluti orientalisme setidaknya kita bisa bersikap fair dan objektif dalam menganalisa mereka. Bahkan klasifikasi dari mereka pun sangat beragam, dari yang bertujuan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, akan tetapi karena kurangnya bahan dalam penelitian mengakibatkan kesalahan-kesalahan yang kemudian sangat merugikan Islam, hingga ada juga yang sedari awal memang ingin menghancurkan Islam. 

Dengan demikian, untuk mengantisipasi penjajahan yang tersusun rapi dan terkesan cantik ini, penulis berharap agar umat Islam kedepan lebih memprioritaskan sanad yang kuat dan jelas daripada nasab yang baik dalam urusan agama. Sebab pada tataran tertentu sanad memang lebih penting daripada nasab, apalagi dalam konteks hari ini dimana fungsi dari media sosial sudah melampaui ruang lingkupnya, sehingga agama kemudian menjadi salah satu dari korbannya. Hal ini dikarenakan sifat dari media sosial yang sangat terbuka, sehingga rentan sekali akan penyebaran sumber-sumber keagamaan yang bodong dan tentunya memiliki orientasi tertentu.

×
Berita Terbaru Update