Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dari Santri Untuk Negeri : Peran Santri di Perguruan Tinggi

Sunday, October 24, 2021 | 8:21 AM WIB Last Updated 2021-10-24T15:21:45Z
foto Nurman Fajri

Tidak terasa, kini kita sudah memasuki bulan ke-sepuluh tahun 2021. Bulan Oktober tahun ini dihiasi dengan berbagai peristiwa besar mulai dari Kesaktian Pancasila,  Peringatan Maulid Nabi, Peringatan Hari Santri Nasional, atau hari besar yang lain. Jelasnya bulan Oktober tahun ini memiliki berbagai macam I'tibar (pelajaran) bagi insan-insan yang meyakini. Baik itu peringatan kesaktian Pancasila, Maulid Nabi atau Peringatan Hari Santri Nasional.
Peringatan Hari Santri Nasional mulai dilaksanakan ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan peringatan Hari Santri dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Dalam Keppres tersebut, setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri. Hari Santri ditetapkan di Masjid Istiqlal, Jakarta. Keppres tersebut diteken langsung oleh Jokowi pada 15 Oktober 2015.

Keppres tentang peringatan hari santri ditetapkan dengan menimbang peran ulama dan santri saat memperjuangkan Kemerdekaan RI. Tanggal 22 Oktober sendiri dipilih sebagai bentuk pengingat akan seruan resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama di berbagai penjuru daerah. Resolusi jihad inilah yang akhirnya membuat semangat para kaum sarungan untuk memperjuangkan, membela, atau bahkan mempertahankan kemerdekaan.
 Dilansir dari detik.com, Pada tahun ini, Peringatan Hari Santri Nasional mengusung tema "Santri Siaga Jiwa Raga". Menteri Agama menjelaskan Santri Siaga Jiwa Siaga  diartikan sebagai komitmen seumur hidup santri untuk membela tanah air yang lahir dari sifat santun, rendah hati, pengalaman, dan tempaan santri selama di pesantren. Sementara itu, mengutip dari NU Online Jatim, PBNU meluncurkan tema hari Santri tahun 2021 dengan mengusung tema "Bertumbuh, Berdaya, dan Berkarya". Filosopi logo hari santri Melambangkan air jernih yang memberikan kesejukan dan kesegaran, diharapkan menjadi sumber kekuatan bagi kehidupan baik dalam konteks sebagai pribadi, warga negara maupun bangsa.

Para kaum sarungan merupakan insan manusia yang di bentuk dan di besarkan di Pondok Pesantren.  Dalam pondok pesantren, terdapat prinsip dipaksa, terpaksa, terbiasa, bisa dan luar biasa. Saat berada di Pesantren, saya iseng bertanya kepada para Santri, kenapa mau belajar di pesantren? Lantas di jawab, kami terpaksa karena mengikuti keinginan orang tua. Ya, mungkin ada yang masuk pesantren karena keinginan orang tua nya untuk melihat anak nya paham ilmu-ilmu agama, namun tak sedikit pula yang mengajukan diri kepada orang tua untuk memasukkan mereka ke pondok pesantren.

Tak sedikit anak-anak yang di paksa oleh orang tua untuk belajar mandiri di Pondok Pesantren, belajar ilmu-ilmu agama di dalamnya. Namun, tanpa disadari kadang keterpaksaan yang membuat seseorang untuk menjadi lebih baik. Terpaksa belajar di pondok pesantren tak jarang telah mengubah anak yang dulunya dicap 'nakal' menjadi orang yang giat belajar agama, orang yang menjadi ahli agama. Setelah melewati tangisan karena perbedaan tempat, suasana, dan waktu yang dilewati, tanpa disadari mereka terbiasa untuk melakukan kebaikan, terbiasa melakukan aktifitas secara mandiri tanpa bertumpu pada orang tua, ya karena dalam dunia pesantren selalu diajarkan untuk mandiri. 

Setelah terbiasa untuk hidup mandiri, kaum sarungan akan terbiasa dengan mufrodat-mufrodat (kosakata Arab) yang di berikan, terbiasa dengan bacaan-bacaan kitab yang tiap hari dipelajari, atau bahkan terbiasa dengan wirid-wirid yang senantiasa mereka lafalkan. Maka setelah itu mereka bisa untuk berbahasa "bil'arobiyyah wal injilisiyah" berbahasa dengan berbahasa Arab dan Inggris, bisa untuk memberikan harokat pada kitab yang tidak berbaris, atau bisa dengan aktifitas lain yang mereka lakukan selama menjadi santri. Sehingga pada akhirnya kaum sarungan akan menjadi luar biasa dengan segala aktifitas yang dilakukan, dengan segala prestasi yang di dapatkan sebagai buah dari kesabaran, buah dari keistiqomahan. Singkatnya "Wa maa ladzatu Illaa ba'dat ta'bi." (Tidak ada kenikmatan kecuali setelah kepayahan).
Seiring dengan berjalannya waktu, telah banyak santri yang mengeyam pendidikan kembali ke Perguruan Tinggi, meneruskan belajar dan berikhtiar untuk menggapai cita-cita. Berbagai macam bidang di tekuni oleh para santri setelah selesai dari Pesantren, baik itu Kuliah di bidang Kedokteran, Jurusan Pendidikan, Polisi, Tentara atau bahkan bidang-bidang yang lain, hal ini mengingatkan saya pada petuah yang disampaikan Mudir Ma'had saya yang akrab disapa Walid Toni. Beliau pernah menyampaikan kepada kami bahwa "Antum Ustadzun Lakum" kamu adalah pemimpin bagi dirimu sendiri.

Kita tentu melihat sosok besar yang ada di Indonesia saat ini, seperti Gus Romzi Ahmad, M. Abdullah Syukri yang kerap di sapa Gus Abe atau bahkan sosok wakil presiden Republik Indonesia saat ini K.H Ma'ruf Amin yang merupakan lulusan Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Beberapa tokoh yang disebutkan menunjukkan kaum santri bisa menjadi apa saja, selama berada dalam jalur kebaikan. Untuk menjadi seperti tokoh-tokoh besar yang ada diatas bukanlah hal yang mudah, bukanlah tanpa rintangan terlebih pada zaman sekarang ini, semakin intensif globalisasi, membuat paham-paham radikal semakin banyak dijumpai, bahkan tak jarang paham-paham yang tidak diperkenankan tersebut menyebar luas di dunia Pendidikan dari tingkat bawah bahkan merembak ke Perguruan Tinggi.
Lantas, Apa peran yang bisa diambil oleh Santri di Perguruan Tinggi?

Menurut UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, pada pasal 1 dijelaskan, bahwa perguruan tinggi adalah lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran diatas perguruan tingkat menengah, dan yang memberikan pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dengan cara ilmiah. 

Penulis pernah mendengar di Webinar dan Seminar bahwa paham-paham radikal telah masuk di Perguruan Tinggi, dan yang terbanyak terkonfirmasi adalah Perguruan Tinggi Negeri. Tak sedikit Mahasiswa yang dulunya merupakan anak-anak SMA, menjadi Ustadz dadakan di Perguruan Tinggi. Bukan tidak boleh menjadi ustadz, namun sangat disayangkan ketika label 'ustadz' diberikan kepada orang-orang yang dianggap sepemikiran dengan mereka "minhum" dari golongan mereka, dari Organisasi yang dengan mudahnya untuk Mengkafirkan golongan yang tidak sejalan dengan pemikiran "manhajul fikroh" mereka saja. Padahal, Saidina Ali pernah berkata Mereka yang tidak saudara dalam Iman, adalah saudara dalam kemanusiaan.

Mengutip dari laman detikNews,  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyebutkan Faktor munculnya paham radikalisme di perguruan tinggi karena kurangnya pemahaman agama. Maka Para Santri yang mengeyam Pendidikan di Perguruan Tinggi haruslah mengambil sanad keilmuan yang jelas. Sebagaimana mereka berhati-hati belajar saat di Pesantren, tradisi ini harus dilanjutkan di perguruan tinggi. Sekiranya Jurnal-jurnal terlihat indah dengan Daftar Isi yang bereputasi, maka jadikan Ilmu mu mahal karena diambil dari orang-orang yang berasal dari sanad keilmuan yang jelas, terlebih kalau keilmuan agama.

Setelah mencari sanad keilmuan yang jelas, mahasiswa yang dikenal dengan keintelektualan harus membiasakan diri belajar dan mempelajari berbagai macam keilmuan yang ada. Jangan cepat puas dengan keilmuan yang dimiliki. Sebab, pepatah mengatakan "manqolla 'ilmuhu kasuro inkaruhu, waman kasuro 'ilmuhu qolilun inkaruhu" orang yang sedikit Ilmunya banyak Inkarnya, dan yang banyak Ilmunya akan sedikit Inkarnya. Maka jadilah mahasiswa yang senantiasa belajar, senantiasa menyelami Samudra keilmuan. Imam Syafi'i pernah memberikan nasihat "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan".

Selanjutnya, kaum sarungan harus berani mengambil peran penting di organisasi kampus. Menurut pandangan penulis, masuknya paham radikalisme di Kampus-kampus bisa diminimalisir atau diatasi, tatkala yang memegang tampuk organisasi orang-orang yang moderat, insan-insan yang memiliki prinsip rahmatan lil'alamin, Islam yang sejuk, Islam yang memberikan Rahmat bagi seluruh alam. Dalam sebuah hadits dikatakan, apabila melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Dengan demikian, menduduki posisi-posisi strategis merupakan salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk melawan paham radikal yang menyebar di perguruan tinggi.

Diakhir tulisan, penulis mengajak untuk senantiasa memperdalami keilmuan, memperbanyak bacaan dan memfilter tempat yang hendak dijadikan sanad keilmuan. Jadilah Mahasiswa yang menjadi "agen of change" bukan generasi yang melenceng. Generasi yang senantiasa mengarungi samudra keilmuan bukan generasi yang dengan mudahnya membid'ahkan. Ketika mampu untuk menerapkan hal tersebut dalam kehidupan, maka secara tidak langsung akan tumbuh  Sosok yang diharapkan pada tema Hari Santri Nasional, Bertumbuh, Berdaya, Berkarya. Tumbuh dengan Keilmuan yang memadai, Berdaya, serta Mengukir prestasi dan berkarya dari keilmuan yang dimiliki. Serta menjadi Santri yang Siaga jiwa dan Raga, siaga untuk mempertahankan kemerdekaan dengan keilmuan, sosok-sosok yang menjadi vaksinasi Intoleransi dan memberantas radikalisme dalam kehidupan.

Oleh : Nurman Fajri
Kader PMII Jambi
Editor : Eky Prasetyo
×
Berita Terbaru Update