Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Perempuan dalam Belenggu Diskriminasi

Tuesday, October 5, 2021 | 5:59 AM WIB Last Updated 2021-10-14T09:50:09Z


Oleh : Imelda Siska Siregar

Ketua Kopri PKC Sumatera Utara

Berbicara mengenai perempuan dan diskriminasi memanglah perpaduan kata yang cocok mengingat hingga kini masih banyaknya terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan.  Hidup di negara Indonesia memiliki tantangan tersendiri khususnya bagi kaum wanita karena Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menganut budaya Patriarki dan tidak menafikan bahwasanya budaya partriaki juga dianut oleh beberapa negara lainnya.

Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) bahwa diskriminasi itu sendiri defenisinya adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, ras, agama dan lain sebagainya). Dalam Undang-Undang  Negara Republik Indonesia Tahun 1945 termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) bahwasanya “negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai negara hukum ada yang namanya hak, baik itu dari segi ataupun aspek sosial yang tidak membeda-bedakan jenis kelaminnya (gendernya) karena adanya (equality) atau kesaamaan hak. Salah satu hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah Hak Asasi Manusia. 

Diskriminasi yang terhadap perempuan tidak hanya terjadi di lini atau sektor sosial seperti yang lumrah-lumrah terjadi namun diskriminasi terhadap perempuan tersebut juga terjadi di sektor politik, pendidikan, fisik bahkan hingga di lini dunia kerja atau di sektor lingkup dunia pekerjaan. Diskriminasi di lini ataupun sektor politik yang terjadi pada perempuan ialah masih melekatnya stigma bahwasanya perempuan tidak dapat mengambil keputusan dan itu hanya dipercayakan kepada kaum laki-laki saja. Yang merupakan bukti nyata diskriminasi terhadap perempuan di lini atau sektor politik ini adalah bahwa benar adanya yaitu keikutandilan atau keikutsertaan perempuan dalam perpolitikan atau kursi politik dan parlemen yang diperuntukkan pada perempuan hanyalah 30% (tiga puluh persen) saja. Tidak jauh berbeda bahwasanya diskriminasi terhadap perempuan di lini pendidikan atau dari segi pendidikan juga disebabkan masih melekatnya stigma kolot bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena pada akhirnya seorang perempuan hanya akan mengurusi perkara dapur dan kasur. Stigma-stigma negatif yang masih melekat seperti inilah yang kian terus memperngaruhi dan juga menjadi salah satu penyebab masih terjadi dan terus terjadinya diskriminasi terhadap kaum perempuan hingga saat ini. 

Meski Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya menyatakan bahwa “setiap pekerja berhak mendapat perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pemberi kerja” dijadikan sebagai payung hukum, namun nyatanya tidak mampu untuk mencegah terjadinya diskriminasi terhadap perempuan di lini dunia pekerjaan, dibuktikan dengan masih adanya terjadi kasus diskriminasi terhadap perempuan dalam dunia kerja dibeberapa perusahaan. Maraknya kasus diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja hingga kini belum teratasi. Sebagai contoh kecil diskriminasi terhadap perempuan di lingkup dunia kerja adalah ketidaksetaraan gaji antara gaji seorang pekerja laki-laki dan pekerja perempuan atau masih lumrahnya terjadi dibeberapa perusahaan yang lebih mengutamakan kaum laki-laki dalam melaksanakan suatu tugas dari pada kaum perempuan.  Banyak faktor penyebab mengapa hingga kini masih maraknya terjadi kasus-kasus diskriminasi terhadap perempuan dilihat dari beberapa sektor yang ada, baik itu dari sektor sosial, pendidikan, politik hingga dari sektor dunia pekerjaan. 

Diskriminasi terhadap perempuan ketika dilihat dari sektor sosial, sektor pendidikan dan sektor politik maka lawannya adalah stigma-stigma kolot yang masih melekat. Dan pabila melihat diskriminasi terhadap perempuan dari sektor dunia pekerjaan maka lawannya adalah adanya rasa ketidakpercayaan terhadap perempuan dalam hal mengambil keputusan dan tidak mempercayakan suatu tugas terhadap perempuan atau dengan kalimat lain bahwa laki-laki itu lebih kuat daripada perempuan dan inilah yang memicu terjadinya laki-laki lebih diperankan atau lebih berperan dalam suatu perusahaan dibanding perempuan.

×
Berita Terbaru Update