Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dampak Harga Sawit dalam Perspektif Hablumminannas-Hablumminal 'alam

Saturday, July 16, 2022 | 4:56 AM WIB Last Updated 2022-07-16T11:56:44Z
Foto Nurman Fajri

Tulisan ini berasal dari hasil diskusi rumahan ketika sekelompok kaum muda sedang berkumpul di DPR. Tentunya DPR yang dimaksud bukanlah di gedung Dewan Pertimbangan Rakyat, melainkan dibawah pohon rindang. Ya, ada ungkapan yang mengungkapkan bahwa masa muda adalah fase untuk mengenal satu sama lain, mempelajari banyak hal baru, mencoba berbagai pengalaman seru, singkatnya fase mencari jati diri. Penulis sangat menyepakati ungkapan tersebut, masa muda hendaklah memperbanyak relasi dan wawasan, bukan hanya foya-foya dan berkeluyuran. Dalam diskusi tersebut, ada seseorang yang membahas tentang problematika sawit. Tentunya ini menjadi perhatian penulis, hingga berakhir mencari berbagai hal terkait ekspor sawit yang lagi trend akhir-akhir ini. 

Dari penelusuran penulis dengan mengetik kata kunci sawit di laman internet memunculkan beberapa hal penting. Dari asal muasal perkebunan sawit di Indonesia sampai terkait seluk-beluk ekspor sawit di negeri pertiwi tercinta. Mengutip dari laman korpusib.com, perkembangan pesat perkebunan sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1980-an setelah perkebunan besar swasta masuk ke sektor perkebunan dan pengolahan minyak kelapa sawit dalam jumlah besar setelah sebelumnya di dominasi perkebunan milik negara. Seiring dengan meingkatnya harga Crude Palm Oil, masyarakat yang notabene petani kecil mulai menanam sawit. 

Data dari laman kata yang mengutip dari kementerian pertanian menunjukkan bahwa pada tahun 2021 Luas Perkebunan Minyak Kelapa Sawit Nasional mencapai 15,08 Juta Ha. Dari 15,08 juta ha, mayoritas dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%). Kemudian, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,08 juta ha (40,34%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84%). Data tersebut menunjukkan bahwa 40% lebih masyarakat Indonesia yang menanam sawit dan berketergantungan dengan sawit. 

Lantas, berapa harga sawit pada saat ini serta apa dampak dari naik atau turunnya harga sawit bagi masyarakat? Mari kita mulai dengan melihat harga sawit akhir-akhir ini. Berdasarkan hasil googling dari berbagai sumber, akhir-akhir ini harga sawit mengalami penurunan bahkan ada media yang menyatakan bahwa sebagian masyarakat tidak memanen sawit karena harga yang sangat memprihatinkan dibawah 500 rupiah. Tentunya penulis tidak hanya sekedar mempercayai begitu saja melainkan turut mencari tau ke masyarakat. Setelah bertanya kepada masyarakat yang notabene pengumpul 40% sawit di Indonesia, banyak masyarakat yang berkeluh kesah dan bercerita tentang harga sawit yang mereka jual. 

Masyarakat mengatakan bahwa harga sawit terus menerus mengalami penurunan, bahkan di masyarakat paling bawah hanya mencapai angka 400 rupiah saja. Harga 400 rupiah tersebut, jika memberikan upah kepada pekerja lagi tentunya akan memberikan hasil yang sangat sedikit. Sehingga tak heran, jika rendahnya harga tersebut membuat sebagian masyarakat memilih tidak memanen sawit karena dirasa tidak mampu membalas rasa lelah dan letih memanen atau membayar upah panen. Merosot tajamnya harga sawit dari harga 3000an ini harus dicari jalan keluar, entah melalui kebijakan impor dan ekspor maupun dengan jalan yang lain.

 Merosotnya harga tandan buah segar (TBS) sawit dikalangan masyarakat ini tentu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan agar membeli harga TBS Sawit Petani minimal 1600 perkilonya. Polemik harga jual TBS sawit di petani ini tentu harus segera di usut tuntas sampai ke akar-akarnya, jangan biarkan mafia bermain didalam kesengsaraan jutaan petani sawit di Indonesia. Tanpa disadari, turunnya harga jual sawit memberikan berbagai dampak negatif. Dampak ini dapat kita bedakan menjadi dua ragam yakni dampak kepada manusia yang akan mempengaruhi hablumminanas serta dampak lingkungan atau yang sering diistilahkan hablumminal 'alam 
Merosotnya harga jual tandan buah segar sawit membuat masyarakat merasakan dampak yang begitu dahsyat. Masih banyaknya masyarakat yang berketergantungan dengan sawit tentu memberikan efek peningkatan angka pengangguran karena masyarakat mendadak dirumahkan. Ketika angka kemiskinan semakin meningkat, maka bukan tidak mungkin angka kriminalitas juga akan terus meningkat. Oleh karena itu, dibalik merosotnya harga jual TBS sawit, ada fenomena yang sangat perlu diamati, yakni prinsip kemanusiaan. Jangan sampai karena kebijakan yang dilakukan pemerintah membuat segolongan masyarakat mencari jalan pintas untuk memenuhi kehidupan dengan jalan yang tidak diharapkan.
 
Tidak hanya berdampak kepada manusia, merosotnya harga jual sawit turut berdampak kepada lingkungan.  Tumpukan-tumpukan sawit yang tidak dapat dijual, tentu semakin lama akan membentuk sesuatu yang tidak sedap dipandang. Sesuatu yang akan menjadi hal yang sia-sia (mubadzir), yang tentunya sangat dilarang. Apabila ada pernyataan agar masyarakat kreatif dengan mengolah menjadi minyak, tentunya harus dipertanyakan alat apa yang akan digunakan masyarakat dengan jangka waktu serta situasi yang dadakan, tidak pernah diduga dan tentunya tidak pernah diharapkan. 

Hingga pada akhirnya dapat disimpulkan, fenomena merosotnya harga sawit memicu pada sulitnya implementasi Hablumminannas karena menyebabkan angka kemiskinan yang tinggi serta memicu berbagai macam jenis kejahatan di muka bumi. Serta akan sulit terwujud Hablummina 'alam karena terjadi kemubadziran dan sampah akibat tumpukan sawit yang membusuk karena tidak bisa diangkut dan di jual. Semoga harga sawit bisa kembali normal dan kehidupan bermasyarakat akan normal kembali. Suami-suami tidak lagi dimarahi istri karena tidak bekerja. Para istri bebas memilih bahan untuk belanja. Serta anak-anak mendapatkan uang jajan seperti biasanya. Harga sawit yang baik, akan mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi.


Penulis : Nurman Fajri

Editor : Titis
×
Berita Terbaru Update