Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) yang tengah masuk dalam Prolegnas menimbulkan kekhawatiran serius terhadap masa depan demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia. Alih-alih memperkuat profesionalisme kepolisian, sejumlah pasal dalam draf revisi justru memperluas kekuasaan Polri secara signifikan, terutama dalam aspek intelijen, pengawasan siber, dan masa dinas jabatan. Hal ini membuka ruang yang lebar bagi penyalahgunaan kewenangan dan memundurkan agenda reformasi sektor keamanan pascareformasi 1998.
Bahaya Kewenangan Tanpa Kendali
Salah satu pasal yang menuai kontroversi adalah Pasal 14 huruf (g) yang memberikan wewenang kepada Polri untuk melakukan kegiatan “siber, termasuk memberikan informasi intelijen kepada lembaga dalam dan luar negeri.” Ketentuan ini berisiko melanggengkan praktik pengawasan massal (mass surveillance) terhadap warga sipil tanpa mekanisme akuntabilitas yang kuat. Sebagaimana ditunjukkan oleh laporan The Citizen Lab dan investigasi Tempo (2022), penggunaan perangkat sadap semacam Pegasus dan Predator telah menargetkan sejumlah aktivis dan jurnalis di Asia Tenggara. Dalam konteks Indonesia, kewenangan ini bisa dengan mudah digunakan untuk membungkam kritik dan mempersempit ruang kebebasan berekspresi.
Pasal 16 ayat (1) huruf (l) juga patut disorot karena memberikan hak kepada Polri untuk memanggil seseorang guna dimintai keterangan “dalam rangka kegiatan intelijen.” Frasa ini ambigu dan berpotensi melanggar prinsip non-diskriminasi serta presumption of innocence. Tanpa definisi yang ketat, pemanggilan dapat menjadi alat represif terhadap oposisi atau individu kritis terhadap pemerintah.
Selain itu, pasal yang memperpanjang usia pensiun Kapolri dari 58 menjadi 60 tahun (Pasal 30A) menimbulkan kecurigaan adanya motif politik tertentu. Usulan ini datang di tengah kepemimpinan Kapolri yang kerap disebut memiliki kedekatan politik dengan elite kekuasaan. Penundaan regenerasi kepemimpinan bisa memperpanjang loyalitas institusional yang tidak sehat dan merusak prinsip meritokrasi.
Rekam Jejak Kekerasan dan Penyalahgunaan Wewenang
Sejarah menunjukkan bagaimana kewenangan tanpa batas pada aparat keamanan berujung pada praktik kekerasan. Kasus pembunuhan enam anggota FPI di KM 50, tragedi Kanjuruhan, hingga serangkaian pembubaran aksi mahasiswa menjadi sinyal bahwa pendekatan keamanan masih sangat militeristik dan mengabaikan hak asasi manusia.
Laporan Komnas HAM dan KontraS secara rutin mencatat bahwa kepolisian adalah aktor dengan jumlah pengaduan pelanggaran terbanyak. Sementara itu, dalam Indeks Persepsi Korupsi oleh Transparency International, sektor penegak hukum termasuk yang paling rendah kepercayaannya. Jika RUU ini lolos tanpa koreksi mendasar, maka kita sedang menyaksikan pelembagaan otoritarianisme dalam balutan konstitusional.
Mengawal Demokrasi, Menata Kewenangan
Agar demokrasi tidak terus tergerus, sejumlah langkah penting perlu dilakukan:
1. Menolak Pasal-Pasal Bermasalah
Pasal 14 huruf (g), Pasal 16 ayat (1) huruf (l), dan Pasal 30A harus dicoret atau direvisi secara ketat dengan pembatasan yang jelas dan mekanisme pengawasan independen.
2. Mendorong Penguatan SIPOLRI (Sistem Pengawasan Internal Polri)
Perlu dilakukan audit menyeluruh terhadap mekanisme pengawasan internal, serta pembentukan lembaga pengawas eksternal independen seperti Police Complaint Authority sebagaimana diterapkan di negara-negara demokrasi maju.
3. Mereformasi Pendidikan dan Budaya Institusional Polri
Transformasi pendekatan keamanan dari hard power menuju pendekatan berbasis hak asasi manusia menjadi keharusan. Reformasi kurikulum pendidikan kepolisian dapat menjadi awal dari pergeseran paradigma ini.
4. Meningkatkan Partisipasi Publik dan Pemantauan Sipil
Pasca Pemilu 2024, momentum harus digunakan untuk mengawasi proses legislasi dengan melibatkan kampus, organisasi masyarakat sipil, dan media independen agar tidak terjadi pembungkaman kebebasan berpendapat.
5. Melibatkan Mahkamah Konstitusi dan KPK dalam Review
Bila RUU disahkan, judicial review menjadi alternatif hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi juga perlu dilibatkan untuk menilai dampak RUU terhadap potensi conflict of interest dan korupsi institusional.
RUU Polri Adalah Ujian Demokrasi Kita
RUU Polri adalah ujian penting bagi komitmen kita terhadap demokrasi. Bila regulasi ini lolos tanpa koreksi, maka Indonesia sedang membuka jalan bagi negara pengawasan (surveillance state) yang melampaui batas-batas konstitusi. Seperti diingatkan oleh filsuf politik John Stuart Mill, “Kebebasan tidak akan bertahan jika rakyatnya tidak siap melawan pelecehan kekuasaan.” Maka, saatnya masyarakat sipil bersatu untuk menolak normalisasi otoritarianisme yang dibungkus dalam kebijakan.
Penulis: Iqbal Alaik
Jabatan: Ketua PMII UIN Walisongo 23/24
Editor: Titis Khoiriyatus Sholihah
