Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Membumikan Paradigma Kritis dalam Bingkai PMII Nusantara

Tuesday, May 20, 2025 | 9:23 PM WIB Last Updated 2025-06-14T13:57:27Z



Bumiku subur, rakyatku makmur sebuah ungkapan yang telah lama menjadi mantra romantik tentang Indonesia. Namun, hari ini, kita dipaksa untuk terbangun, tersentak dari tidur panjang di tengah buaian retorika. Di balik kesuburan tanah Nusantara, tersembunyi wajah muram dari ketimpangan struktural, kerusakan ekologis, dan pembungkaman kesadaran kritis anak bangsa. Ironisnya, di negeri yang katanya "gemah ripah loh jinawi", kesadaran kritis justru dikerdilkan oleh pragmatisme birokrasi dan dogmatisme keagamaan.

Dalam lanskap semacam itu, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tak boleh sekadar menjadi institusi seremonial. PMII adalah rahim yang harus terus melahirkan kader-kader ideologis, pemilik kesadaran kritis yang bersedia menjadi “gangguan epistemik” terhadap sistem yang telah lama timpang. Maka, membumikan paradigma kritis dalam bingkai PMII Nusantara bukan lagi sekadar wacana, tapi merupakan keharusan historis dan kultural.

Kesadaran Kritis sebagai Pilar Perjuangan, Paulo Freire, dalam karya legendarisnya Pedagogi Kaum Tertindas, menjelaskan pentingnya conscientização, yaitu proses pembangkitan kesadaran kritis terhadap realitas sosial. Kesadaran ini berbeda dari sekadar tahu ia adalah bentuk keberpihakan sadar terhadap yang tertindas, terhadap perubahan, terhadap pembebasan. Inilah yang sejatinya menjadi akar dari gerakan mahasiswa. Gerakan bukanlah sekadar mobilisasi massa, tapi artikulasi gagasan yang lahir dari dialektika sosial yang hidup.

PMII dengan ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah dan Nilai Dasar Pergerakan (NDP)-nya memiliki potensi besar untuk menjadi lokomotif kesadaran kritis. Namun sayangnya, dalam praktiknya, PMII kerap kali terjebak dalam “rutinitas struktural” memuja prosedur tanpa merawat substansi. Banyak kader yang lebih tertarik pada pencitraan, jabatan, dan legalitas, ketimbang kerja kultural yang menyentuh akar persoalan umat. Padahal, di tengah derasnya gelombang neoliberalisme dan konservatisme agama, PMII seharusnya menjadi ruang intelektual alternatif yang menyodorkan kritik, bukan hanya narasi seragam.

Kritik terhadap Situasi Sosial Kontemporer
Indonesia hari ini sedang berada di persimpangan. Disatu sisi, kita digempur oleh logika pasar global yang menjadikan manusia sebagai angka statistik dan tanah sebagai komoditas. Disisi lain, agama yang seharusnya menjadisumber etika dan pembebasan malah disulap menjadi alat justifikasi kekuasaan. Apa yang terjadi adalah bentuk alienasi ganda; rakyat terasing dari tanahnya, dan mahasiswa terasing dari nuraninya.

Tanah subur Indonesia menjadi ladang empuk bagi oligarki. Petani digusur atas nama investasi, masyarakat adat dilabeli radikal karena mempertahankan hutan, dan aktivis dibungkam oleh pasal karet. Sementara itu, para intelektual kampus sibuk mengejar jabatan struktural dan publik figur hanya ramai bersuara saat menjelang pemilu. Maka dari itu, menjadi penting bagi PMII untuk tidak terjebak dalam pusaran pragmatisme semu dan harus kembali menjadi “batu kerikil dalam sepatu kekuasaan”.

Paradigma kritis menuntut kita untuk tidak sekadar membaca realitas secara permukaan, tetapi membedah struktur yang menopangnya. Mengapa kemiskinan terus terjadi meski negara mengklaim pertumbuhan ekonomi? Mengapa pendidikan tetap elitis meski digembar-gemborkan sebagai hak semua warga negara? Paradigma kritis tidak memberi ruang bagi jawaban klise; ia meminta dekonstruksi terhadap narasi dominan.

Paradigma Kritis dalam Bingkai PMII
PMII tidak bisa berdiri netral di tengah penderitaan umat. Netralitas, dalam banyak kasus, adalah bentuk lain dari keberpihakan kepada penindas. PMII harus hadir sebagai kekuatan transformatif yang membawa pesan keadilan sosial, kesetaraan, dan pembebasan spiritual. Untuk itu, perlu ada pembacaan ulang terhadap NDP bukan hanya sebagai dokumen normatif, tetapi sebagai teks ideologis yang mampu bersaing dengan wacana hegemonik.

Paradigma kritis dalam konteks PMII tidak cukup hanya hadir dalam diskusi atau pelatihan formal. Ia harus menjadi napas gerakan: dalam cara berpikir, bertindak, dan mengorganisasi masyarakat. Kader PMII seharusnya menjadi organic intellectual dalam pengertian Gramsci yakni intelektual yang berakar di tengah rakyat dan berbicara dengan bahasa penderitaan mereka.

Kritik terhadap pembangunan, misalnya, tidak cukup hanya datang dari teori. Kader PMII harus turun ke desa, mendengar langsung suara petani, nelayan, dan buruh, lalu merumuskan strategi gerakan dari sana. Maka kerja kader bukan hanya kerja intelektual, tetapi juga kerja praksis memadukan gagasan dan aksi. Inilah wujud konkret dari membumikan paradigma 
kritis.

PMII Nusantara: Gerakan atau Organisasi?
Pertanyaan besar yang harus dijawab secara jujur adalah: apakah PMII hari ini masih layak disebut gerakan? Atau telah menjelma menjadi organisasi formal yang kehilangan roh perjuangan? Sebab yang terjadi adalah kecenderungan formalisasi, di mana struktur lebih dominan daripada nilai, dan birokrasi lebih penting dari ideologi.

PMII Nusantara seharusnya tidak hanya menjadi payung kultural, tetapisekaligus motor ideologis. Untuk itu, harus ada reorientasi gerakan: dari orientasi struktural ke orientasi substantif. Hal ini bisa dimulai dari membangun kembali budaya literasi, dialektika, dan keberanian untuk berbeda pandangan. PMII harus menjadi ruang yang subur bagi debat ideologis, bukan sekadar arena kompetisi kuantitas kader.

Sebagai gerakan nasionalis-religius, PMII juga dituntut untuk menghadirkan sintesis antara Islam dan kebangsaan dalam narasi yang progresif. Kita tidak bisa lagi mengandalkan narasi usang tentang nasionalisme jika tidak dibarengi dengan keberpihakan pada rakyat miskin, perempuan tertindas, dan kelompok minoritas. Nasionalisme bukan soal bendera semata, tapi tentang keberanian melawan ketidakadilan di dalam negeri sendiri.

Strategi Membumikan Paradigma Kritis
Membumikan paradigma kritis bukan perkara teknis, tetapi soal visi dan keberanian. Strateginya setidaknya mencakup tiga hal:
1. Konsolidasi ideologis
PMII harus memperkuat pemahaman ideologis kader, bukan hanya pada level konseptual, tetapi juga kontekstual. NDP, Aswaja, dan semangat pembebasan Islam harus diinternalisasi dengan pendekatan sejarah dan sosial.
2. Revitilasi kultural
PMII harus hadir di ruang-ruang kultural masyarakat. Diskusi warung kopi, pentas seni rakyat, hingga kampanye digital harus menjadi medan dakwah intelektual yang kritis. PMII tidak boleh eksklusif di menara gading kampus, tapi harus menyatu dengan denyut nadi masyarakat.
3. Praksis transformasional
Setiap gagasan harus diakhiri dengan aksi. PMII perlu memperkuat aksi-aksi sosial berbasis rakyat: advokasi hukum, gerakan lingkungan, ekonomi alternatif, dan pendidikan komunitas. Inilah bentuk nyata dari “ilmu yang membebaskan”.

Menjadi Generasi Tersentak
Bangun tersentak dari bumiku subur bukan sekadar metafora puitik. Ia adalah panggilan sejarah bagi kader PMII untuk tidak larut dalam euforia jabatan dan formalitas, tetapi menjadi manusia kritis yang siap mengganggu ketertiban palsu darisistem yang timpang. Dalam dunia yang dirundung keheningan dan ketakutan, keberanian untuk berpikir berbeda adalah bentuk jihad intelektual tertinggi.

PMII bukan milik masa lalu, tetapi milik masa depan yang harus dibentuk hari ini. Kita tidak bisa menunggu datangnya perubahan dari luar, sebab kita sendirilah yang telah dititahkan menjadi alat perubahan itu. Paradigma kritis bukan sekadar gaya berpikir, tapi juga cara hidup—hidup yang berpihak, hidup yang menggugat, dan hidup yang terus berjuang.


Penulis: Anis Nuraini (Kader PMII Fisip UINSA Surabaya)
Editor: Titis Khoiriyatus Sholihah
×
Berita Terbaru Update